15. The History

149 31 196
                                    

Dikemudikan oleh rasa penasaran, jari-jari itu menari cepat di atas keyboard, merangkai kalimat pada mesin pencari. Manik birunya berpendar akibat cahaya dari layar pipih di depan.

Ribuan artikel mengenai virus zombi berbaris di layar ketika lelaki itu menekan enter. Ia mengeklik satu artikel teratas. Memindai setiap kata, memproses setiap kalimat pada artikel yang tak henti membuatnya tercengang.

Setelah selesai dengan yang satu, ia menutup jendela browser, mengeklik lagi yang lain. Memindai dan memproses lagi setiap data yang didapatkan. Matanya bergerak cepat hingga ke akhir kalimat.

Kegiatan menutup dan membuka jendela browser itu dilakukannya berkali-kali untuk memastikan cerita Mark tidak ada benarnya sama sekali.

Sesekali, pemuda itu mengernyit, menggaruk kepala yang tak gatal, dan mengusap tengkuk untuk menenangkan bulu roma yang berdiri, sebelum menopang pipi dengan sebelah tangan yang terbuka.

“Ini benar-benar nyata,” lirihnya sebelum mengusap wajah dengan kedua tangan. Ia mengeklik sebuah gambar, memperbesar hingga membuatnya bergidik. Seketika perutnya terasa melilit, teraduk saat memperhatikan gambar di depan. Ia menutup mulut dengan tangan, menahan mual. “Menjijikkan.”

Tretan menghela napas, mengumpulkan keberanian.

Ia melirik lagi gambar seorang lelaki dan perempuan yang tergeletak di atas tanah dengan baju compang-camping yang hampir tak menutupi seluruh tubuh. Lidah keduanya menjulur, matanya yang melotot seolah menatap kamera, dengan usus terurai keluar melalui lubang di perut. Kedua mayat tersebut telah membusuk, terlihat dari warna kulit yang tak merata--beberapa bagian menghitam. Tampak seekor anjing berdiri di samping, menatap kamera. Kumpulan lalat terlihat jelas menghinggapi mayat.

Tretan memegangi perut dan mulutnya dengan sebelah tangan. Alisnya bertaut menahan sensasi mual yang diakibatkan oleh gambar di depannya. Dalam sekali klik, gambar itu cepat-cepat dihilangkan dari pandangan.

Pemuda itu memegangi kepala. Kini, saraf kepalanya berkedut, membuatnya susah payah mengembalikan pandangan yang sesekali mengabur. Pemuda itu pasti akan pingsan kalau saja Mark tidak datang dengan segelas air jahe disertai kekehan.

“Hampir pingsan melihat gambar? Lemah!” Mark menampilkan lagi gambar yang tadi, membuat Tretan cepat-cepat menutup mata. “Kalau kau melihat langsung, kutebak, kau akan koma setahun di rumah sakit.” Mark terkekeh.

“Apa benar-benar separah itu?” Tretan membuka matanya ketika layar pipih itu tak lagi menampilkan gambar dari korban virus zombi.

Mark terdiam, berpikir. “Sebenarnya, lebih parah.” Ia melirik Tretan. “Tidak banyak foto yang bisa kau temukan di internet. Mereka men-take down beberapa yang sangat mengerikan. Beberapa kehilangan organ tubuh, bahkan ada yang berkepala buntung.”

“Mark, aku serius.”

Mark nyengir. “Sayangnya, aku juga.”

“Apa virus zombi separah itu?”

“Mungkin.”

“Apa maksudmu?”

Mark melangkah ke ranjang, duduk di tepiannya. “Kematian mengenaskan waktu itu tidak hanya disebabkan oleh virus zombi. Tapi juga serangan robot secara brutal.”

“Tapi, kau bilang ceritamu tadi bohong!” protes Tretan membuat Mark tertawa kecil.

“Tentu, hanya di bagian ‘para zombi akan memakan otakmu’ dan beberapa bagian lainnya.” Mark merebahkan badannya ke ranjang. “Kau tahu, keadaan waktu itu sangat mengerikan. Kau melihat orang yang kau sayang ditembak secara brutal oleh robot-robot sialan itu. Dan kau tak bisa berbuat banyak.” Ia melirik Tretan. “Kau beruntung mengalami trauma kepala.” Lelaki itu menarik selimut, menyembunyikan wajahnya.

The Light-workerWhere stories live. Discover now