Under Pressure

396 27 18
                                    

"Di SMA AD ada bully gak sih mas?" tanya Raka setelah aku selesai mengajarnya.

Bully... aku tak terlalu tau ada kasus semacam itu di sekolah, karena di kelasku sendiri tak ada kasus itu. Semua terlihat baik-baik saja.

"Gak ada kok." jawabku.

"Oh, bagus juga dong berarti disana. Emang sih gak dipukulin atau diapa-apain, tapi kalau dijauhin... itu sama aja di bully gak sih mas?" tanya Raka, wajahnya terlihat murung.

"Bilang aku aja kalau ada apa-apa." ucapku. Tak kusangka ternyata dia menjadi korban bully di sekolahnya.

"Eh, bukan aku kok mas. Maksud aku tuh anak dari luar kota itu. Tapi... makasih mas." Raka tersenyum dan mengangguk.

"Emang kamu gak mau gitu temenan sama dia?" tanyaku.

"Aku bukan tipe orang yang gampang deket orang lain mas. Lagian orangnya mungkin juga gak terlalu suka sama aku, jadi ya... nggak dulu deh. Orangnya juga keliatan galak, jadi aku agak segan juga kalau mau nyapa dia."

"Emang dulu waktu kalian satu kelas orangnya galak gak?" tanyaku lagi.

"Nggak sih mas. Tapi kalau sekarang ya siapa tau dia ada perubahan gitu."

Melihat gelagat dari Raka, bisa sedikit kupastikan kalau dia sebenarnya mau mengenal anak yang ada di ceritanya."

"Gimana kalau kamu tantang dia?" tanyaku memberi saran.

"E-eh? Aku gak bisa berantem mas! Lagian... lagian dia cewek mas, masa aku ajak berantem?" Raka terlihat kaget dengan saranku.

"Ya gak berantem juga. Dulu nih, waktu mas masih di Jogja, mas juga punya saingan, dia cewek juga. Seru tau kalau punya saingan, jadi ada motivasi buat belajar."

"Emang dulu mas bilangnya gimana?" tanya Raka.

"Gak bilang sih. Sebenernya mas dulu suka sama dia, terus gak mau kalah gitu, jadi mas berjuang terus yang awalnya selalu ranking bawah tiba-tiba bisa ranking dua, selalu satu ranking dibawah dia terus."

Raka melipat bibirnya, wajahnya perlahan memerah.

"Emang kamu suka sama dia juga?" tanyaku.

"Gak mas! Aku gak suka cewek sombong kaya dia!" sahut Raka langsung, lalu memalingkan wajahnya yang masih merah.

Kurasa aku harus bertanya-tanya dengan Jessi lagi. Memang Raka tak pernah menyebut nama Jessi, tapi aku yakin dialah yang selalu diceritakan Raka akhir-akhir ini.

---

Hari ini aku kembali memberi Jessi pelajaran dasar Fisika kelas 1 SMA. Lama-lama, jadwalku tiap hari Kamis adalah untuk mengajarinya materi SMA, sedangkan hari Selasa membimbingnya untuk bersiap di Try Out dan berbagai macam Ujian lainnya.

"Jess, anak kelas lain yang dulu kamu maksud emang pinter-pinter banget ya?" tanyaku setelah selesai mengajarnya.

"Dibilang pinter ya lumayan sih, tapi masih bisa aku lewatin. Tapi dari Sembilan A emang ada satu anak yang paling susah aku kalahin sejak aku kelas satu. Eh, maaf mas kalo aku kasar." ucap Jessi.

"Hm? Gapapa kok, apalagi masalah saing-saingan nilai gini. Aku malah suka tau denger cerita kamu masalah ini." ucapku, lalu meminum teh hangat yang dibuatkan kak Lala. Sebentar, dia minta maaf?

Jessi mengangguk, melipat bibirnya dan memutar-mutar pensil mekaniknya.

"Mas, ko Timo sendiri kalau di sekolah nilainya gimana?" tanya Jessi.

"Timo... nilai dia standar aja sih menurut aku. Sering lolos KKM kok dia, gak parah-parah banget. Kenapa?"

"Kalau SMA AD terkenal sepak bolanya, SMP AD terkenal basketnya. Aku bangga sama ko Timo karena dia masih bisa jadi bintang di teamnya, tapi dia juga gak tinggalin pelajaran gitu aja. Sering banget kalau aku menang rebutan dapet kasur atas, aku liat dia belajar pake HPnya yang bikin aku rada susah tidur sebenernya. Bagus deh kalau ko Timo gak cuma sering main aja sama masih fokus belajar." ucap Jessi, lalu dia memeluk lututnya dan tersenyum sendiri.

TutorDove le storie prendono vita. Scoprilo ora