1. Awal Kisah

2.3K 153 14
                                    

Maaf, baru bisa update. Jangan lupa tekan bintang biar terang bacanya! Tambahkan juga dalam pustaka kalian

Fakhri keluar dari ruang atasannya. Langkahnya agak terburu seperti biasa kalau dia sedang sibuk mengurusi sesuatu. Penugasannya sebulan lalu di sebuah perguruan tinggi swasta untuk memberikan jasa konsultansi implementasi standar mutu di lembaga pendidikan itu tidak bisa ditanganinya sendiri. Sebenarnya, Fakhri sudah memprediksi itu akan terjadi, tetapi atasannya memaksa untuk hanya menugaskannya sendiri untuk menekan biaya. Setelah menjalani satu kali kunjungan ke perguruan tinggi itu, Fakhri memiliki argumen yang tak bisa ditolak atasannya bahwa perlu tenaga tambahan untuk membantunya di sana.

"Mbak lagi sibuk?" tanya Fakhri ketika tiba di meja kerja Watining. Perempuan yang usianya dua tahun lebih tua darinya itu sudah seperti saudaranya sendiri. Pembawaan Watining yang supel membuat Fakhri selalu nyaman saat bersama Watining.

"Ndak juga. Aku cuma lagi meriksa laporan yang baru selesai kubuat. Ada apa?" tanya Watining dengan suaranya yang lembut dan berlogat Jawa.

Fakhri menarik kursi di hadapan Watining, lalu duduk di sana. "Mengenai pekerjaan yang ditugaskan ke aku di Pagaralam itu, waktu itu aku, 'kan, pernah cerita kalau aku enggak bisa tangani sendiri, tapi bos maksa menugaskan aku sendirian. Setelah dari sana, ternyata memang keteteran aku kerja sendiri. Aku minta tambahan tenaga dan aku usulkan Mbak untuk bantu aku. Mbak mau enggak bantu aku?"

Watining tampak berpikir beberapa detik. "Perguruan tingginya besar?"

"Enggak terlalu besar, tapi kan tahu sendirilah ada banyak unit yang perlu diberi pelatihan dan bimbingan untuk implementasi. Kalau kita berdua yang tangani, kita bisa berbagi. Jadi, pekerjaannya bisa lebih cepat selesai. Tapi, mesti keluar kota dua kali sebulan. Gimana, Mbak?" Fakhri menatap wajah Watining yang tampak berpikir.

"Sebenarnya ndak ada masalah. Aku juga sudah biasa tugas ke luar kota, 'kan?"

"Aku agak ragu karena enam bulan ke depan, kita mesti ke sana dua kali sebulan. Itu artinya Mbak bakal rutin ke luar kota. Bakal lebih sering meninggalkan anak-anak." 

"Memangnya, berapa hari sekali kunjungan?" Mata Watining yang berbinar indah tampak lebih indah kalau dia sedang berbicara serius. 

"Jatuhnya tiga hari. Dua hari, perjalanan pergi dan pulang. Satu hari, tugas di sana. Kita bisa berangkat akhir pekan. Hari Jumat, kita berangkat. Sabtu, tugas di sana. Minggu pagi, kita pulang. Gimana menurutmu, Mbak?"

Watining menyandarkan punggungnya lebih ke belakang di sandaran kursi kerjanya. Dia langsung menjawab, "Ndak masalah sih. Aku bersedia."

Fakhri tersenyum. "Makasih, Mbak."

"Ngomong-ngomong, di sana enak ndak sih?"

"Namanya di kaki gunung, tempatnya sejuk. Kotanya kecil jadi enggak bisa kita samakan dengan di sini. Menghadapi orang-orangnya juga mesti agak sabar. Secara kompetensi, mereka sebagian agak kurang."

"Tapi, kelihatannya menarik. Kita bisa menyegarkan pikiran di sana. Anggap saja liburan," ujar Watining diikuti tawa kecilnya. Fakhri merasa lega. Tampaknya Watining tidak menganggap pekerjaan itu sebagai tugas yang berat.

"Iya. Sebenarnya pekerjaannya enggak berat. Cuma mesti bersabar saja menghadapi mereka kalau agak lambat mengerti."

"Di kota besar juga, ndak selalu ketemu orang-orang yang gampang ngerti kalau kita jelasin, 'kan? Jadi, biasa sajalah."

"Oke. Kalau begitu, aku ke bagian keuangan dulu ngurusin masalah tambahan personel. Makasih, ya!" Fakhri meninggalkan meja kerja Watining.

"Bentar!" ujar Watining menahan langkah Fakhri dan membuatnya membalik badannya, "Apa yang mesti aku siapin?"

Gamelan RetakWhere stories live. Discover now