2. Mengungkap Cerita

1.6K 123 24
                                    

Jangan lupa tekan bintang biar terang bacanya! Tambahkan juga dalam pustaka kalian!

Menjelang waktu makan siang, Fakhri mendatangi meja kerja Watining. Dia mengajak Watining makan siang sekaligus membicarakan tentang keberangkatan mereka dua hari lagi. Perempuan itu terlihat murung dan hanya mengangguk ketika Fakhri mengajaknya pergi ke kafetaria yang ada  di seberang kantor mereka.

Fakhri merasa ada yang tak beres pada Watining, tetapi agak ragu untuk menanyakan hal itu. Fakhri khawatir kalau apa yang dialami Watining adalah hal yang terlalu pribadi untuk ditanyakan. Meski sudah seperti saudaranya sendiri, Fakhri membatasi diri untuk tidak masuk ke wilayah privasi Watining, kecuali perempuan itu yang mengizinkannya.

Seorang pelayan mengantarkan dua gelas es teh manis pesanan Fakhri dan Watining. Fakhri sengaja minta didahulukan minuman pesanannya karena biasanya pesanan makanan akan datang agak lama di waktu istirahat yang ramai pengunjung seperti itu. 

"Terima kasih, Mbak," ujar Fakhri ketika pelayan itu meletakkan minuman pesanan mereka.

Watining masih diam. Sesekali, dia melakukan sesuatu di ponsel yang dipegangnya. Rasanya, Fakhri ingin membiarkan Watining sampai perempuan itu buka suara. Namun,  Fakhri tak bisa menahan diri untuk tak menanyakan mengapa Watining bersikap begitu. Kalau Watining tetap berdiam diri, Fakhri merasa kurang enak harus membicarakan rencana keberangkatan mereka.

"Ada apa, Mbak?" Fakhri mulai buka suara sambil memandang Watining yang tertunduk sambil memandangi ponselnya. Tak lama, perempuan itu mengangkat wajahnya sambil menghela napas panjang.

"Hari ini, tepat tiga tahun Mas Heru meninggal. Ndak terasa ... rasanya baru beberapa bulan lalu," ujar Watining lirih.

"Iya, Mbak. Aku juga kehilangan. Kita  kirim doa saja." Fakhri agak berhati-hati dan membatasi tanggapannya. Watining sangat sensitif kalau menyangkut masalah Heru sejak suaminya itu meninggal dunia. 

"Ada hal yang aku mau ceritakan sama kamu. Cerita yang belum pernah aku ceritakan sama siapa pun." Nada bicara Watining masih tetap lirih. Fakhri membiarkan perempuan itu berbicara tanpa menanggapinya. Dia melihat gurat kesedihan di wajah ayu itu. "Tapi ... aku ceritanya nanti saja, ya? Kalau kita di luar kota," lanjut Watining. Apa yang hendak diceritakannya tampaknya merupakan hal yang cukup berat untuk diceritakan. Fakhri hanya mengangguk menanggapinya.

"Makanan kita sudah datang," ujar Fakhri mengalihkan pembicaraan ketika pelayan mendekati meja tempat mereka duduk dan menyajikan pesanan mereka. 

"Terima kasih," ujar Fakhri pada pelayan itu. "Mari, Mbak, kita makan!" ajak Fakhri pada Watining.

* * * * * 

Fakhri dan Watining mengikuti petugas hotel yang mengantarkan mereka ke kamar tempat mereka menginap. Kamar yang dipesankan untuk mereka berupa kamar-kamar yang berjajar menghadap ke taman di bagian tengah dan memiliki teras di bagian depan setiap kamar. 

"Kamarnya yang ini dan itu," ujar petugas hotel ketika berdiri di depan kamar 103 dan menunjuk ke kamar 104 di sebelahnya. Petugas itu lalu membukakan pintu dan menyilakan masuk.

"Terima kasih, Mas." Fakhri memberikan uang tip dan petugas itu meninggalkan mereka setelah mengucapkan terima kasih.

"Mbak di sini, ya!" ujar Fakhri.

"Yang mana saja. Di sini juga boleh." Fakhri lalu mengangkat tas bawaan Watining dan meletakkannya di dekat lemari pakaian. Ketika Fakhri membalikkan badannya, dia melihat Watining tampak mencari-cari sesuatu.

"Mbak cari apa? Remote AC?" 

"Iya," jawab Watining singkat sambil terus mencari. Fakhri merasa geli. Dia juga mengalami hal yang sama ketika menginap di situ sebelumnya.

Gamelan RetakWhere stories live. Discover now