BAB 2 - Mau Resign

473 79 18
                                    

BAB 2

MAU RESIGN

Setiap balik dari toko, gue selalu berusaha membuka laptop, meskipun daya mata gue udah memasuki lima watt. Kegiatan baru itu bermula sejak seminggu lalu, saat gue tahu kalau nyokap gue sakit, lalu adik gue butuh biaya lebih untuk sekolah. Gue harus cari kerjaan yang gajinya lebih gede dari sekarang.

Keluarga gue memang berubah total saat Babeh meninggal. Gue yang pada awalnya merasa tenang akan kuliah setelah lulus SMA, akhirnya harus menelan rasa pahit buat nggak nerusin pendidikan, lalu memilih kerja. Ya, meskipun ujung-ujungya tetap kuliah di kelas karyawan sejak pertama jadi pegawai minimarket.

Waktu itu, Enyak bilang begini, "Veanita, lu nggak usah mikirin duit buat Enyak dan adek lu. Lu mending daftar kuliah aja. Sesuai mimpi lu. Lagian Enyak kan masih jualan nasi uduk. Masih ada buat sehari-hari."

Jelas saja gue diem waktu Enyak ngomong begitu. Bayangin aja. Gue maunya kuliah di universitas negeri dan mengenyam pendidikan reguler, bukan kelas karyawan. Tapi gue inget, bahwa ini adalah salah satu impian gue dari dulu. Mau kapan pendidikan itu bisa terlaksana kalau gue ngulur-ngulur waktu terus? Dan akhirnya, gue kuliah di Bekasi. Ngambil jurusan Ekonomi di sebuah universitas swasta yang memiliki pertemuan tiga sampai empat kali seminggu. Tentu saja nggak mudah bagi gue yang harus bagi waktu antara kuliah dan kerja. Apalagi ada sistem kerja dua shift. Duh, capeknya minta ampun. Meskipun pada akhirnya, kuliah gue bisa selesai dan lulus dalam waktu lima tahun.

Sebenarnya, gue bisa kerja lebih baik dari sekadar kasir di minimarket setelah lulus SMA. Bukan ngerendahin pekerjaan ini ya, tapi gue ngerasa kalau wajah gue yang putih dan mulus ini, minimal bisa jadi model di majalah-majalah. Nyatanya gue malah jadi model kondom. Kondom menjadi benda yang paling sering gue lihat, selain cokelat, permen, dan rokok tentunya. Gue harus mempresentasikan bahwa semua produk yang dijual memang penting untuk dibeli orang-orang. Makannya gue selalu senyum lebar ketika ada pertanyaan ngawur soal benda itu.

"Mbak, enakan yang rasa stroberi atau yang biasa ya?" tanya seorang pembeli suatu hari.

Gue deg-degan dong. Dia kira, mungkin gue pernah nyicip rasa benda itu gimana. Boro-boro nyicip, kadang-kadang mencet bungkusnya dari luar juga suka geli sendiri. Kenyal-kenyal gimana gitu. Tapi pada akhirnya gue jawab, "Kalau mainnya mau lebih mantap, yang stroberi kayaknya cocok, Kang."

Sebenarnya gue merasa telah menodai diri sendiri dengan bilang begitu. Tapi ini tuntutan. Gue harus berusaha menjawab sebaik mungkin tanpa menjelekkan produk, dan tanpa menjatuhkan harga diri sebagai penjual produknya.

Eh, hari-hari selanjutnya si Akang yang beli datang lagi.

"Mbak, makasih ya sarannya. Istriku merem melek pakek yang rasa stroberi."

Gue hanya mesem-mesem waktu itu. Daffa ngakak lihat wajah gue yang mungkin udah kayak ubi cilembu yang enyoi-enyoi dan warna merah itu. Sialnya, Daffa langsung menimpali dengan wajah santai.

"Dia emang udah berpengalaman, Kang!"

Jelas, gue makin malu. Selain Daffa yang tertawa, si Agus yang sedang membersihkan rak makanan ringan juga ngakak. Bahkan beberapa pembeli yang sedang ngucek-ngucek pendingin eskrim menengok sambil menahan tawa. Gue kadang-kadang suka merutuk seharian setelah kejadian macam begitu.

Cuman, bekerja selama lima tahun jadi kasir minimarket bikin gue belajar banyak. Gue yang awalnya manja-manja centil, jadi ngerti gimana rasanya cari uang, lalu bisa berhadapan dengan berbagai macam manusia. Gue yang awalnya anak Jakarta Selatan, tiba-tiba harus jadi anak Bekasi, yang kalau ngomong malah campur aduk antara Betawi, Indonesia dan Sunda. Gue juga mulai terbiasa dengan sawah dan beberapa kebun yang masih ada di sekitaran tempat kerja. Nggak terasa, gue memang sudah lama bekerja di toko sampe-sampe sudah naik jabatan jadi asisten kepala toko. Tapi gue memang harus resign. Benar-benar resign.

Customer Sharelove (Sudah Terbit)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz