BAB 10 - Kejadian di Toko

234 56 3
                                    

BAB 10

KEJADIAN DI TOKO

Bagas baru waras hari ini. Penghalang toko yang berupa besi baru dibuka seukuran badan. Syukurlah, dia nggak buka toko sebelum pelaksanaa doa bersama. Saat gue masuk ke dalam, Agus dan Bagas sudah ada di sekitaran rak toko. Agus sedang beres-beres di rak yang diamanatkan kepadanya, sementara Bagas sedang menghidupkan komputer kasir. Dia tampak berseri-seri.

"Tumben lo senyum-senyum, Gas?" Gue bertanya sambil berkeliling di toko untuk melihat tingkat kerapian rak. "Lo lagi seneng?" Gue bertanya dengan suara keras sambil ngebetulin posisi produk susu di rak yang tinggi.

"Lumayan seneng lebih tepatnya." Bagas tertawa. "Katanya si Stevi udah mulai kena marah sama si Daffa. Akhirnya dia dapat bagian juga."

Gue yang sudah selesai membereskan posisi rak susu, buru-buru menghampirinya. "Masa?"

"Serius. Kemarin kan waktu pagi Stevi satu shift sama Daffa. Dia curhat sama gue, katanya dimarahin dan ditunjuk-tunjuk karena nggak ramah sama pelanggan. Kata si Stevi sih, ada cowok yang marah-marah karena nggak disambut dengan baik saat datang dan bermaksud berbelanja." Bagas terlihat semangat bercerita. "Apa mungkin yang dia maksud, cowok yang pernah marahin kita-kita waktu pagi hari itu ya?"

Gue diam sejenak. Apa benar Caka? Ternyata dia memang nggak ngelakuin itu ke gue aja, tapi juga ke Stevi. Sepertinya Caka memang gereget sama orang-orang yang nggak berdedikasi di pekerjaannya. Meskipun kalau dipikir-pikir, buat apa Caka melakukan itu? Buat cari perhatian? Dia kan hanya pembeli biasa. Tapi bodo amat dah. Yang penting, sekarang Caka jadi cowok baik buat gue. Kalau pun dia datang ke toko dan kebetulan gue yang jaga, gue pasti akan memberikan pelayanan terbaik.

"Heh, Mbak! Ngelamun aja!" Bagas menggerak-gerakkan tangan saat gue nggak jawab pertanyaannya.

"Eh, Sorry." Gue ketawa. "Syukurin deh kalau si Stevi kena marah Daffa. Gue rasa, lambat laun setiap karyawan sini emang bakal tahu gimana sifat si Daffa. Si Agus aja sering ngerasain dimarahin. Ya nggak Gus?"

Agus yang sedang membereskan rak makanan ringan langsung berdiri. Kepalanya nongol dari atas rak. "Ada apa, Mbak?"

"Itu Gus, tadi ada orang gila di depan. Usir lagi gih!" Gue menggodanya.

Agus bergidik, dia memilih kembali fokus ke rak sambil tertawa.

"Kata Stevi, masa Daffa banding-bandingin dia sama lo juga Mbak." Bagas berkata hati-hati. Sekarang dia mengambil sapu dan membersihkan lantai yang sebenarnya masih sangat bersih. "Kata Daffa, ikutin tuh si Veanita. Dia itu tahan banting." Bagas mengikuti cara ngomong Daffa dengan bibir dimonyong-monyongkan.

Mendengar ocehan Bagas, jelas gue syok. Bukannya kerjaan Daffa justru selalu merendahkan gue? Bahkan dia sering banget nggak puas dengan kerjaan yang gue lakukan. Sekarang, gimana mungkin gue malah dibandingkan sama Stevi? Gue malah nggak enak sama anak itu. Entar, malah si Stevi yang benci sama gue. Kan berabe.

"Kata Stevi juga, Si Daffa selalu ngomongin lo setiap sepuluh menit sekali. Veanita, Veanita, Veanitaaaa aja." Kedua alis Bagas bertaut. "Apa dia suka sama lo ya, Mbak?"

Gue hampir tersedak mendengar pertanyaan Bagas. Sejenak, gue melotot ke arahnya, tetapi setelahnya, gue malah beku. Suka? Gue menggeleng. Sepertinya nggak mungkin dia suka sama gue. Kalau suka, seharusnya dia bikin gue tertarik dari dulu. Nah ini? Dia malah bikin gue eneg dan menjauh. Gue jadi inget ajakan dia makan malem dan main ke tempat wisata. Apa itu salah satu bentuk dari pendekatan yang dia lakukan? Gue nggak yakin. Soalnya saat jalan bareng, dia nggak romantis sama sekali.

"Cie, cie, sebentar lagi bakal jadi nyonya Daffa nih, Mbak!" Bagas tertawa ngakak. Sementara Agus juga ikutan terkikik di balik rak-rak makanan.

"Diem nggak lo?" Gue mendengus. "Ogah banget gue harus sama dia."

Customer Sharelove (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now