BAB 5 - Lembur

293 73 4
                                    

BAB 5

LEMBUR

Saat ini, gue sedang menyetrika baju yang akan dipakai untuk interview di salah satu perusahaan keuangan. Gue nggak boleh tampil kucel dengan pakaian biasa saja. Seenggaknya, pakaian yang bakal dipakai wangi dan licin. Jangan sampai pakaian gue kusut kayak wajahnya si Daffa. Bukannya diterima, gue malah diusir sebelum acara dimulai.

Yeay, beres! Permukaan kemeja berwarna hitam dan juga blazer yang gue beli waktu pertama kali kerja di toko, terasa hangat setelah disetrika. Pewangi yang disemprotkan di atasnya juga berasa seperti wangi keberuntungan yang sebentar lagi akan menghampiri. Ah, gue jadi nggak nggak sabar nunggu besok pagi.

Saat mau menggantungkan pakaian di ujung paku, gue mendengar suara bariton dari luar kosan. Dan gue kenal suara itu. Gila! Ini sudah jam delapan malam. Ngapain malem-malem dateng kemari? Lebih dari sepuluh kali Daffa datang malem-malem begini. Dan alasannya selalu sama. Gue harus .... ah, jangan sampe alasan dia datang ke sini sama dengan apa yang ada di pikiran gue.

Setelah memikirkan berbagai kemungkinan, gue bangkit dari lamunan. Tangan juga bergerak untuk membuka pintu kosan. Namun, gue melihat sesuatu yang ... berbeda. Gila, baru pertama kali gue lihat Daffa semodis ini. Dia mengenakan kaus garis-garis yang dibalut jaket levis. Ketika beralih ke bawah, gue melihat jeans fit dengan ukuran kakinya. Sepatunya juga nggak kalah fashionable. Dia mengenakan sneakers dari salah satu merk terkenal.

Selain soal pakaian, gue mencium parfum yang bikin deg-degan. Baunya maskulin banget. Kalau boleh jujur, gue hampir kelepek-kelepek di depan tuh cowok. Apalagi dipadu dengan rambut yang disisir ke atas mirip Boy William. Ya ampun Daffa, gue nggak nyangka pesona lo bisa sekeren ini. Selama kerja sama dia, kok baru pertama kali ya, gue mengamati gayanya?

"Woy, ngapain bengong?" Daffa menggera-gerakan tangan di depan mata.

Gue mundur sejenak sambil menatapnya curiga. "Ngapain ke sini malem-malem?"

"Gue mau minta lo buat masuk kerja besok pagi. Stevi nggak bisa shift pagi. Dia ada keperluan."

Tuh kan! Ternyata tebakan gue bener! Daffa datang hanya karena mau minta gue masuk pagi? Ogah banget. Gue sudah punya rencana sendiri buat besok pagi. Nggak mungkin gue batalin acara interview itu.

"Enggak, enggak!" Gue mengangkat jari telunjuk. "Gue nggak mau masuk pagi. Di jadwalnya juga gue masuk siang!"

"Tapi ini mendadak Ve. Gue mohon. Kalau lo nggak masuk, siapa yang jadi kasir?"

Ada yang aneh rupanya. Daffa nggak nyebut gue 'PEA' lagi. Kalau ada maunya, dia memang bisa berubah menjadi seorang cowok yang mirip dengan malaikat.

"Kenapa nggak Bagas?" gue mengusulkan.

"Nggak bisa-lah. Dia kan yang mimpin shift siang. Kalau kita sama-sama masuk pagi, nanti yang ngawasin shift dua siapa?"

"Kalau Agus?" Gue masih nyari celah. Kagak mungkin gue ngebatalin rencana interview gitu aja.

Dia menggeleng cepat. "Dia itu baru. Dia belum begitu faham hal-hal yang berhubungan dengan kerjaan kasir." Dia menunjuk wajah gue. "Pokoknya, gue nggak mau tahu. Lo besok masuk kerja! Kalau enggak, gue lapor ke pusat. Biar lo dipecat secepatnya."

"Dih, gue emang mau keluar dari toko. Kan elo juga tahu." Gue mendongak. "Bilang aja sana! Biar dipecat sekalian!" Kali ini, gue berucap bohong. Meskipun pengin keluar dari toko, tapi bukan berarti dipecat juga. Lagian, gaji nggak bakal turun kalau gue berhenti kerja di awal bulan seperti ini.

Ternyata, ucapan gue nggak bikin Daffa makin ngegas. Dia malah memegang tangan gue. "Ve, plis. Lo musti sayang dong sama kita semua. Kalo lo besok nggak ada, taruhannya karyawan yang lain juga. Performa toko kita bakal buruk banget."

Customer Sharelove (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now