17. Fajar di Ufuk Senja

135 30 10
                                    




Jakarta, 28 Juni 2011
Tahun ajaran semester genap, menuju kenaikan kelas—


Rintik air hujan membasahi dahan-dahan pohon beringin tongkrongan Tambang sore itu. Hari Jumat bengkel ditutup. Hanya ada mpok Nah yang setia menemani anak-anak nakal gemar tawuran ini, membuatkan kopi dan makanan ringan untuk mereka. Kedainya selalu ramai sejak tahun 1990an, terima kasih kepada anggota Stav yang setia menjadikan warungnya sebagai basecamp dari generasi ke generasi.

Tak banyak anak yang berada di Tambang sore itu. Hagi salah satunya. Ia terus merenungi gelas kopinya yang sudah dingin dan mengendap karena tak kunjung diminum.

"Kesurupan lo?" suara seseorang mengagetkannya.

Hagi tersentak. Ternyata Jawir.

"Lo kenapa? Biasanya becanda mulu lo, kek orang sawan." Jawir merangkul Hagi. "Coba cerita sama gua."

Hagi tersenyum kecil. Jawir, senior dua tahun diatasnya ini adalah orang yang cukup pengertian, dibalik wajah sangar dan sifat brutalnya saat bertarung ini. Bisa dibilang, Jawir adalah orang terdekatnya di Stav. Karena ia juga tergabung dalam band sekolah sebagai bassist, Jawir dan Hagi menjadi makin dekat. Sebagai anak kembar non identik dan tak punya kakak laki-laki, Hagi sudah menganggap Jawir seperti abangnya sendiri.

"Gatau. Gua lagi aneh banget akhir-akhir ini. Galau tanpa sebab,"

"Hehehe.. pms lo?"

"Kagalah tai."

Mereka berdua tertawa geli. Setelah itu, mereka terdiam. Hanyut dalam fikiran masing-masing.

"Lu.. mau denger quotes bikinan gua ga, Gi?"

"Ga ah. Quotes lu suka jorok anying."

"Serius nih gua. Masih anget idenya, baru terinspirasi dari kopi lu." ucapnya dengan intonasi serius, namun lucu.

"Apa coba, mau denger gua." seloroh Hagi.

Fajar meraih gelas kopi Hagi di hadapannya. Ia berdehem sebentar.

"Jadi, Gi.. hidup ntu kayak segelas kopi." paparnya.

"Aduh. Apaan lagi sih ini." seloroh Hagi asal.

"Sstt.." Fajar menaruh telunjuknya di bibir. Mengisyaratkan Hagi untuk diam.

"Filosofinya; pencipta kita udah ngasih kita porsi dan takaran masing-masing ibaratnya di tiap gelas. Ada pahit, ada manis, dan mereka semua gak berdiri sendiri.."

Hagi menguap malas.

".. Kalau lu cuma nikmatin sisi paitnya hidup, jelas bakal pahit." lanjut Fajar.

Fajar mendekatkan gelas kopi Hagi yang gelap pekat, lalu mengaduk gelas tersebut. Seketika, warna kopi Hagi berubah. Endapan gula, susu dan kopi di dasarnya telah tercampur rata. Seketika Hagi terbelalak.

"Di kehidupan kita ada banyak hal-hal manis yang mungkin gak lo sadari dan syukuri," terang Fajar sambil tersenyum puas. "Tapi perlu lo inget, gaada kopi yang gak enak. Kopi yang paling pait sekalipun tetep banyak yang suka. Mereka punya peminat tersendiri,"

Hagi mengangguk-angguk paham.

"Logic sih.. tumben quotes lu berfaedah." ujar Hagi.

"Makannya, lu harus lebih sering dengerin abang lu ini." bangga Fajar.

Hagi tersenyum miris. "Sebenernya, Wir.. gua lagi khawatir ama seseorang."

Sweet Disposition | Park Jisung [END]Where stories live. Discover now