28

305 34 25
                                    

"Namun aku sebagai orang tua selain mempunyai tugas untuk mendidik anak-anaknya dengan baik, aku pun juga punya tugas untuk membahagiakan anak-anakku dengan baik pula. Apa pun tentang yang telah ia lakukan, seburuk apapun itu, seburuk apapun dia, tetap tidak bisa merubah darah yang mengalir pada seluruh nadinya sebagai anak kandungku, darah dagingku sendiri." dari sini ayahku memberikan senyuman simpul yang terasa perih yang miris kepada ayah Seungri.

Ayah Seungri hanya diam mendengarkan dengan perasaan yang carut marut. Pandangan matanya tak jauh beda dengan ayahku. Terluka dan tak berdaya. Mereka saling pandang mencerna semua keadaan dan semua yang ada dan terjadi. Aku tak kuasa untuk meneteskan air mataku. Aku sungguh sangat merasa bersalah karena telah menyakiti mereka para orang tuaku yang begitu amat sangat menyayangiku dan membanggakanku. Siapa yang bisa ku salahkan selain diriku sendiri saat ini. Aku pun tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Aku sungguh tak berdaya. Kurasakan kaos yang kukenakan terasa basah. Dan aku paham Seungri pun merasakan perasaan yang sama seperti yang aku rasakan saat ini dibalik pelukan eratnya pada tubuhku. Meski aku tak bisa melihat wajahnya yang tersembunyi dibahuku, namun aku tahu yang membasahi kaosku adalah air matanya.

Sang pepatah mengatakan, "Nasi telah menjadi bubur". Dan itu benar adanya. Saat ini kami tak bisa berbuat apa-apa. Kami tak berdaya. Mau diapain dan digimanain pun ga akan merubah segalanya yang telah terjadi. Meski pun mereka memisahkan kami sekalipun itu tak akan bisa membuat keadaan kembali seperti sebelumnya. Malah itu hanya akan menjadi kuburan dari sebagian hati dan jiwa kami yang mati karena terenggut paksa. Jika mereka tetap memaksa dengan mengatakan waktu akan menyembuhkan dan membantu kami melupakan, apakah mereka yakin itu bisa?? Sedangkan disini yang sedang kami coba pertahankan adalah separuh hati dan jiwa kami, bukan tangan, kaki, mata serta jantung kami yang bisa diobati atau diganti. Bagaimana kami harus menunjukkan kepada mereka sudah seberapa dalamnya kami saat ini sampai di poin kami tak bisa bernafas jika tak berada didekat satu sama lain? Haruskah kami hidup bagaikan robot yang tak memiliki hati dan jiwa dalam menjalani hidup demi untuk menuruti keinginan mereka(??) dan norma (??)? Jika memang begitu, bukankah kematian jauh lebih baik?

****

"Yeon Jin-ah... Saat ini aku sedang dalam proses menerima kenyataan dimana aku telah gagal sebagai orang tua karena aku tidak bisa mendidik putraku dengan baik. Namun aku tak akan pernah menyerah begitu saja aku yang sebagai orang tua untuknya. Tugasku tak hanya mendidiknya, namun juga membahagiakannya. Mungkin aku gagal mendidiknya, namun aku tak mau gagal untuk kedua kalinya dengan membuat putra yang aku sayangi, yang aku gendong dan timang sejak lahir, hidup dalam ketidak bahagiaan. Bahagia itu adalah haknya. Aku tak punya hak merenggut kebahagiaan putraku darinya. Aku menyayangi putraku tanpa batas. Akan ku lakukan apapun untuk membuatnya bahagia. Mungkin memang pilihan hidupnya tidak baik. Tapi jika itu yang membuatnya bisa hidup dalam damai dan bahagia aku yang seorang ayah akan melakukan apapun untuk mendampinginya dalam beratnya dia berjalan. Bukan malah meninggalkannya dalam gelap. Aku akan mencoba menebus kegagalanku sebelumnya dengan menuntunnya kembali ke arah terang bersama kebahagiaannya. Untuk masalah dosa, itu menjadi urusan mereka dengan Tuhan. Yang penting kita sebagai orang tua sudah melaksanakan tugas kita memberitahu mana baik dan buruk untuk mereka." terang ayahku panjang lebar mengungkapkan isi hati dan pikirannya.

Kami semua yang ada diruangan, mendengar itu tak ada yang kuasa untuk tak menitikkan air mata. Bisa dilihat ibuku yang menangis sedang memeluk ibunya Seungri yang menangis juga. Hanna adik Seungri pun juga ikut menangis sambil memeluk ibunya. Aku dan Seungri pun sudah basah air mata saling berpelukan. Kami semua saling menguatkan dan menenangkan satu sama lainnya. Atensi kami semua masih ada di dua kepala rumah tangga yang sedang duduk berdampingan berbicara dari hati ke hati tersebut.

"Yeon Jin-ah... Mari kita dampingi putra-putra kita sama-sama. Mari kita tuntun mereka menuju terang bersama-sama dalam perjalanan mereka menyongsong kebahagiaan mereka. Bukankah kebahagiaan hakiki kita sebagai orang tua adalah melihat anak-anak kita bisa hidup damai dan bahagia? Jika kebahagiaan yang mereka raih itu sulit, mari kita bantu mereka untuk meraihnya. Jika kebahagiaan yang mereka inginkan itu berbahaya mari kita bersama-sama menjaga mereka dari segala rintangan yang menghadang untuk mereka. Jika kita bersatu bersama-sama bukankah tidak ada yang bisa mengalahkan kita? Apa yang perlu kita takutkan? Karma Tuhan?Yeon Jin-ah... Tuhan itu penuh cinta kasih, apakah kamu tidak percaya bahwa Tuhan berbelas kasih? Asal kita melakukan semua dengan cinta kasih seperti yang Dia tuntunkan, kita tak perlu merisaukan karma. Biarlah karma itu menjadi urusan-Nya. Mari kita jalani saja hidup kita dengan kebaikan. Percayalah semua akan baik-baik saja. Karena kita tidak sendiri. Kita menghadapinya bersama-sama." tutur ayahku dengan senyum tenang dan ringannya.

What is Love? ✔️Where stories live. Discover now