Bab 7. Berjuang Sendiri

120 31 3
                                    

Kantin SMA 7, Jakarta, 1994

Waktu seolah berjalan dengan sangat cepat, tanpa terasa, Ali dan teman-temannya sudah berhasil mengembangkan Xprint menjadi memiliki 5 kios. Kini Ali berencana membuat dua kios lagi.

"Tempatnya di mana, Al?" tanya Sandi.

"Di sekitar Depok," jawab Ali.

"Kok jauh banget?" tanya Sandi.

"Di sana ada banyak kampus," jawab Ali.

"Al. Sekarang kita udah kelas 3. Biar semua bisa masuk perguruan tinggi negeri, udah saatnya fokus sama sekolah. Urusan kios, kita serahin total ke Mas Santoso. Gimana?" tanya Angga.

"Gue enggak setuju urusan kios diserahin total ke Mas Santoso. Udah, biar gue aja yang pegang. Gue lagi punya banyak rencana besar," jawab Ali.

"Lho? Elu kan juga harus fokus sama sekolah," ujar Sarah.

"Gue harus fokus sama impian gue," jawab Ali tegas. ia tampak tidak suka rencananya ditunda.

"Cuma nunda setahun aja kok, Al," bujuk Pipit.

Ali menggelengkan kepala.

"Pokoknya, elu juga harus utamain sekolah!" ujar Sarah lebih tegas.

Wajah Ali berubah kesal. "Gue berhak ngatur hidup gue sendiri!"

"Oh, kalo gitu, gue juga berhak keluar dari Xprint. Kalo yang lain mau lanjut, silakan," sahut Sarah yang juga kesal dengan sikap Ali.

Anak-anak XPrint terkejut mendengar keputusan Sarah.

Angga tersenyum. "Tolong dong, diskusiin masalah ini dengan kepala dingin."

"Betul, Al. Kamu ngalah aja deh, biar Sarah enggak jadi keluar," bujuk Pipit.

"Yang minta Sarah keluar, siapa? Hormatin dong keputusan orang lain, enggak usah pake acara ngancem segala. Emang dia siapa?" ujar Ali.

Sarah tersinggung, ia pun berdiri. "Gue siapa? Gue sahabatlu dari kecil! Ngancem? Ternyata elu emang enggak pernah kenal gue. Gue keluar! Fokus deh sama urusanlu. Semoga elu enggak salah langkah!"

Sarah meninggalkan teman-temannya.

Pipit sedih. Matanya basah, menyaksikan keributan yang tidak pernah ia sangka bisa terjadi.

"Aku enggak mau bertahan di Xprint, tanpa Sarah," Pipit pun pergi meninggalkan teman-temannya.

Sandi berdiri. "Sori, semua. Lu kan pada tahu, gue gabung buat pdkt ke Pipit. Gue cabut juga."

Sandi meninggalkan teman-temannya.

Firdi menengok ke arah teman-teman yang pergi dan ke teman-teman yang masih bertahan. "Lha, gimana ini? Yah, gue mah kalo cuma betiga, mana enak? Hubungin gue aja deh, kalo pada akur lagi."

Firdi menepuk bahu Ali, lalu pergi.

"Jadi, cuma elu yang masih mau ikut berjuang ngewujudin mimpi kita?" tanya Ali pada Angga.

Angga tersenyum. "Enggak, Al. Kejar deh impianlu dengan caralu. Gue juga punya cara sendiri buat ngejar yang gue mau. Selain anak Xprint, enggak ada larangan buat duduk di sini kan?"

"Enggak tahu. Gue juga heran, kenapa pada pergi. Hidup itu adalah seni menghadapi masalah. Takut ketemu masalah? Ya, enggak usah hidup. Sayangnya, temen-temen gue terlalu tegang ngejalanin hidup. 2 tahun kita udah ngebesarin XPrint, tiba-tiba malah bubar cuma karena urusan sepele."

"Gue cuma bisa bilang, buktiin aja, Al. Kita berdua kan berencana masuk jurusan arsitektur di ITB. Walau lu pilih tetap fokus sama kios, jangan sampe rencana kita kuliah bareng enggak kesampean. Oke?"

"Gampang."

*****

Ali sedang sibuk memberi arahan pada anak buahnya. Tiba-tiba ada seorang pemuda yang berpenampilan seperti orang kantoran mendatangi kios,

"Selamat malam. Mas, kenal sama yang punya usaha ini, enggak?" tanya orang itu.

"Gue yang punya, kenapa, Mas?" tanya Ali.

"Wah, kebetulan, Kenalin gue, Roy."

"Al," sahut Ali sambil menjabat tangan Roy.

"Cuma mau kenalan aja, buat nambah teman. Kebetulan kita sama-sama penguasaha," ujar Roy.

"Usaha apa, Mas Roy?" tanya Ali.

"Macam-macam. Ada laundry, toko kelontong, travel, cafe, sampai kantor notaris juga ada," jawab Roy.

"Wah, hebat juga, Mas," puji Ali.

"Enggaklah, masih sama-sama ngerintis kita. Eh, gue pernah lihat tulisan plang XPrint di tempat-tempat lain, itu punya lu juga?" tanya Roy.

"Betul, Mas" jawab Ali.

"Wah keren, udah punya banyak cabang. Udah bikin badan hukum?" tanya Roy.

"Nantilah. KTP aja belum punya, Mas," jawab Ali.

"Itu penting. Lu kan bisa pinjam nama ke temen yang udah punya KTP. Tapi, jangan salah paham, gue bukan lagi jualan jasa kantor notaris gue. Enggaklah! Malah, kalo lu butuh, gue kasih free."

"Serius nih, Mas?" tanya Ali.

"Gue emang seneng nolong anak-anak muda yang baru mulai usaha. Kalo untuk nyari duit, mending gue cari dari yang gede-gede aja, hehe. Nih, kartu nama gue."

Ali menyimpan kartu nama Roy.

"Kalo lu butuh bantuan apapun ngomong aja. Jangan kuatir, gue beneran enggak mau nerima duit dari sesama anak muda yang lagi sama-sama ngerintis bisnis. Kebetulan koneksi gue lumayan luas, ada yang di pemerintahan, tentara, polisi, bea cukai, BUMN, apa lagi? Lu sebut aja, temen gue ada di mana-mana."

"Pengusaha emang harus punya banyak teman."

"Betul, makanya gue seneng cari teman baru kaya gini."

"Makasih Mas Roy. Wah, gue harus belajar dari senior nih.".

"Kita sama-sama belajarlah, Al. Menurut gue, jalanin bisnis itu enggak bisa sendirian. Orang bisnis itu kejam, kalo bisnis kita mulai dianggap udah ganggu kompetitor yang lebih besar, kita pasti dihantam. Mereka bisa kirim siapa aja, dari yang enggak berseragam sampe yang berseragam buat nyerang kita. Tau-tau ada aja, orang datang nanya surat izin ini-itu, bahkan kadang-kadang langsung main kayu."

"Wah, untung gue belum ngalemin."

"Itu udah rahasia umum. Gue enggak suka banget, ngelihat pebisnis mapan bersaing dengan cara enggak fair, makanya pemula kaya kita harus kompak saling bantu, Al."

"Mas Roy, duduk di dalam dulu. Lebih asik ngobrol santai sambil ngemil dan ngopi," ajak Ali.

"Makasih, Al, tapi sori banget, gue ada janji mau ketemu sama temen lain. Oke, nanti kalo lagi luang, lu gue undang ngobrol santai sambil cuci mata di cafe gue. Telfon gue, ya. Sampai ketemu lagi, Al."

Al dan Roy kembali berjabat tangan. Setelah Roy pergi dengan mobilnya, Ali masih berdiri terpukau melihat kepergian mentor bisnis barunya.

*****

*****


Bersambung

Vote dan comment anda sangat berarti bagi penulis, terimakasih telah membaca tulisan ini.

Penulis, Indra W

Al Kahfi Land 3 - DelusiWhere stories live. Discover now