Part 4

5 1 0
                                    


Tempat yang ditunjukkan Fuku, teman baruku ini -- baiklah akhirnya kuputuskan saja untuk berteman dengannya dan tempat tinggal Fuku adalah tempat dimana berbagai jenis ayam tinggal disini. Mereka berbaur dan bekerjasama untuk menciptakan kampung ayam ini.

Tak habis pikir, kenapa aku baru tahu kalau ada tempat seperti ini dipinggiran kota. Menurutku ini jauh lebih baik tertimbang ada di kota. Tempat dimana kematian sudah ditentukan dan akan datang secara tiba-tiba.

"Jadi bagaimana menurutmu?" Tanyanya ketika kami sudah berada didalam rumah Fuku.

Rumah ini biasa saja, jauh dari kata mewah namun nyaman dan terasa hangat. Mungkin karena tumpukan jerami yang dijadikan alas lantainya.

"Hangat." Jawabku jujur.

Ia tampak berjalan kesebuah ruangan, "aku akan menyiapkan makan malam untukmu. Kau takan percaya apa yang kutemukan kemarin untuk bahan makan kita malam ini." Jelasnya panjang lebar.

Mataku mengikuti langkahnya, namun setelah ia tak terlihat lagi, aku mulai menjelajah ruangan ini. Ada sebuah celah yang terbuka disamping pintu, mungkin itu dijadikannya sebagai jendela. Rumah ini didirikan diatas pohon yang tidak terlalh tinggi namun dinaungi dengan dedaunan yang lebat. Aku yakin sekali kalau air hujanpun takkan pernah sampai kedalam rumah ini. Sekilas terlihat rapuh namun nyatanya pondasi rumah ini kuat dan kokoh.

Fuku kembali dengan semangkuk makanan yang tak bisa dipercaya kalau ada yang menyebutnya itu sebagai makanan. Tampilannya seperti muntahan Joky. Sangat menjijikan. Aromanya memang menggoda tapi, ya ampun kenapa disajikan seperti itu. Membayangkan aku harus memakan makanan dari muntahan si Joky itu benar-benar membuat mual.

"Kenapa? Cobalah ini dari gandum dan sedikit sisa daging yang kutemukan dijalan besar." Jelasnya ketika melihat reaksiku. "Kau pasti akan menyukainya." Tambahnya.

Aku hanya tersenyum masam. Menunggu. Ya menunggu ia yang memakannya duluan dan kemudian menghabiskannya tanpa sisa.

Kulihat Fuku mencicipinya, dan kemudian tersenyum. Tanpa mempedulikanku dia terus memasukkan makanan itu kedalam mulutnya.

Lama kelamaan setelah puas aku menyaksikan bagaimana dia menikmati makanan mengerikkan itu. Naluri mulut dan perutku meronta-ronta ingin mencobanya juga.
Aku mengambil sedikit dan mencoba memasukannya kedalam mulut. Baiklah aku harus menutup mata untuk melalukan ini.

Makanannya sampai dilidahku. Seketika aku terdiam, merasakan dan memikirkan rasa yang baru aku cicipi itu. Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ini adalah makanan dengan rasa terbaik yang pernah ada bahkan di kota pu aku tidak pernah melihat atau mendengar jenis makanan ini.
Bayangan sisa muntahan Juky hilang dan di gantikan bayangan padang rumput yang luas dengan kebun gandum yang menghiasinya. Tidak, bukan hanya gandung saja tapi juga ada jagung dan padi yang tumbuh disana. Ini benar-benar surga.

Fuku terkekeh dan menyadarkanku untuk kembali ketempat dimana aku berada. Dia masih tertawa saat aku melihatnya, dan itu membuatku heran.

"Apa aku bilang. Kamu akan sangat menyukainya." Tunjuknya pada makanan yang tanpa sadar sudah kosong tak tersisa sedikitpun.

Aku tersipu malu dan tidak percaya akan apa yang aku lakukan. Aku tidak menyisakkan makanan untuknya.

Fuki menjauhiku dan kembali dengan membawa semangkuk besar lagi makanan yang sama. "Tenang saja kita punya stok yang sangat banyak. Jadi makanlah dengan kenyang." Jelasnya.

Malam itu kami habiskan untuk makan bersama dan berbagi cerita tentang diri masing-masing.

***

Fuku tampak sedang berbicara dengan seseorang kemudian dia menoleh kearahku dan menunjukku secara terang-terangan.

Aku mengerutkan kening, heran.

Dia menghampiriku. "Ayo, akan aku perkenalkan dengan seseorang."

Aku mengikutinya. Beberapa ayam sedang berkumpul disana. Mereka mulai memperhatikanku.

"Jadi kamu dari kota?" Tanya salahsatu ayam dengan bulu hitam yang didominasi warna putih. Aku menggangguk.

"Apa kau dari kandang besar?" Tanya yang lainnya.

Aku menggelengkan kepala. "Aku tinggal bersama tuanku, sedikit lebih jauh dari kandang besar."

Dia membelalakkan matanya. "Kau kah si Kenny, Ken yang selalu bermain dengan anak pemilik kandang besar itu?" Tanyanya tampak terkejut.

Keterkejutanku pun sama dengannya. Bagaimana ia bisa tahu kalau aku adalah Kenny. Aku hanya mengangguk dengan bingung sebagai jawaban dari pertanyaannya.

Tiba-tiba dia memelukku. Lalu kemudian terisak.

"Aku Kuta, teman dari mendiang ibumu. Tidak kusangka aku akan bertemu denganmu lagi. Kau tumbuh sangat cantik." Jelasnya.

"Obrolan diantara kalian baiknya dilanjutkan nanti. Ada pertanyaan lain yang harus ditanyakan pada ayam kota ini." Timpal ayam yang pertama tadi menanyaiku. "Jadi kenapa kamu bisa sampai kesini?" Tanyanya kemudian.

Aku menghembuskan nafas, dan menceritakan permasalahanku sampai aku bertemu Fuku dan mengikutinya kesini.

Mereka tampat menganggukkan kepala tanda mengerti.

"Baiklah, kami menerimamu untuk tinggal disini dengan catatan tidak akan ceroboh apalagi kalau sampai mencelakakan warga kampung ayam disini. Apa kau mengerti?"

Aku menganggukkan kepala. Walau sebenarnya aku tidak mengerti dengan apa yang dia maksud dengan ceroboh dan mencelakakan penghuni kampung ini, tapi itu bisa aku tanyakan nanti pada Fuku.

Akhirnya merekapun pergi namun Kuta masih berdiri disana. Sepertinya dia masih mau bertanya tentang sesuatu padaku. Tapi bukan hanya dia saja, akupun penasaran dengannya.

"Aku senang sekali bisa bertemu lagi denganmu." Ungkapnya tulus, itu bisa dilihat dari sorot matanya yang berbinar.

Dia bilang 'lagi', itu tandanya kami pernah bertemu. Tapi aku rasa ini bahkan pertama kalinya aku bertemu dia.

"Dulu waktu ibumu bertelur dan mengerami kalian. Dia sangat khawatir sekali menantikan kehadiran anak-anaknya. Itu pertama kalinya bagi dia. Dia selalu menjaga telurnya untuk tetap hangat. Kamu menjadi telur paling kuat yang selamat dari banjir yang waktu itu melanda kandang besar. Bukan hanya ibumu saja yang kehilangan telurnya tapi semua betina yang tengah bertelurpun mengalami hal yang serupa." Kenangnya.

Aku tidak pernah tahu kalau dikandang hesar sempat terjadi banjir.

"Waktu itu. Waktu tuan memindahkanmu, satu-satunya telur yang selamat. Ibumu sakit parah sampai akhirnya dia meninggal. Jelang dua hari sepeninggalnya ibumu, kamu mulai lahir. Dan menjadi ayam kesayangan tuan. Kamu bahakan dibuatkan rumah berdampingan dengan rumahnya. Itu membuat ayam yang tinggal dikandang besar merasa iri, namun tidak sedikit pula yang bahagia karena merasa kamu pantas mendapatkannya. Bagi kami, induk ayam yang waktu kehilangan telur, kamu menjadi anak bagi kami semua." Jelasnya.

"Tapi aku sama sekali tidak ingat tentangmu." Akhirnya pertanyaan itu meluncur dari mulutku.

Dia tersenyum, "Aku pergi dari kandang besar setelah aku melihatmu lahir dan mulai cukup kuat untuk tinggal sendiri. Aku mendapat kabar kalau akan ada penybelihan besar-besaran. Posisiku saat itu tengah akan bertelur. Aku tidak mau kehilangan anak untuk kedua kalinya makanya aku memutuskan untuk pergi dan tinggal disini."

"Lalu bagaimana dengan telurmu? Maksudku anakmu."

Dia kembali tersenyum, "aku hanya baru mau bertelur belum mengeluarkan telurnya. Aku bertelur disini, dan tinggal disini bersama anak-anakku."

Aku terkagum mendengarkan ceritanya. Di saat dia ingin melindungi dan hidup dengan anaknya, aku malah berpikir untuk meninggalkan anakku bersama tuan yang suatu hari nanti pasti akan menjadi predator untuknya. Aku malu mengingat hal itu.

Bagaimana mungkin seorang ibu akan memberikan anaknya sebagai bahan makanan kepada tuannya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 24, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

CHICKENWhere stories live. Discover now