Babak I : 5. Kata Kerja.

2.1K 303 18
                                    

👆mulmed lagu lawas.

"Kolaknya terlalu manis. Kurangi gula aren."

"Baik, Bu," jawab Ambar patuh.

"Kurang kental."

"Ya, Bu."

Lagi-lagi Ambar mengangguk patuh. Tadinya Harjo ikut mencicipinya waktu di dapur dan menurut suaminya, kolak yang dimasaknya enak. Namun sekarang di meja makan, lelaki itu hanya diam.

"Ambilkan teh untuk Bapak," perintah Lastri.

"Ya, Bu."

Ambar baru saja beberapa langkah, ia mendengar Lastri mengomelinya.

"Nggak pinter-pinter istrimu, Harjo. Dulu waktu Ibu baru jadi istri Bapak, Ibu sudah pinter masak. Kalau tidak Bapakmu ..."

Terdengar suara deheman.

"Cuma kolak, Bu. Kenapa bukan Ibu saja yang masak? Biar lebih sesuai dengan selera Ibu."

"Diam, Lintang!"

"Pergi sekolah sana!"

"Nggak perlu diusir. Aku memang udah mau pergi. Bye bye, Mother, Brothers, and Sisters. Enjoy your breakfast."

Lintang bergegas meninggalkan ruang makan dan mengejar Ambar. Diikutinya kakak iparnya sampai ke dapur.

"Katanya mau pergi kuliah, kenapa ikut ke sini?" tanya Ambar sambil membuka lemari dan mengeluarkan toples berisi teh.

"Cuma mau bantuin siapin teh buat Bapak. Biar aku yang bawa. Supaya kau bisa sarapan," jawab Lintang ikut sibuk mencari poci teh.

"Tak usah. Pergi sana sekolah," ujar Ambar dengan nada mengusir.

"Tak apa, Kakak Ipar Cantik. Belum telat," jawab Lintang santai.

"Sudah. Tak usah. Ada pembantu yang bisa bantu. Lintang bener tak usah."

"Nggak nyaman ada cowok ganteng di dapur. Alaaaa Kak, zaman apa ini? Biasa kalau ada cowok kerja di dapur. Tuh banyak bule cowok kerja di dapur hotel. Kakak tau kan hotel yang baru dibuka di kota itu, milik asing?" cerocos pria dengan kulit putih itu. Ambar menggeleng. Mana pernah dia pergi ke hotel. Harjo biasanya hanya mengajaknya pergi ke toko buku dan toko kue. Lagipula buat apa mereka pergi ke hotel sementara mereka punya rumah sendiri.

"Kak ... makan dulu. Orang hamil harus sarapan tepat waktu," pesan Lintang sambil menuangkan air panas ke dalam poci.

"Ya. Setelah siapin teh."

"Tak boleh angkat terlalu berat. Yang seperti ini, serahkan kepadaku," tukasnya sambil menunjuk ceret berisi air panas.

"Baik."

"Anak baik," sindir Lintang membuat Ambar malah tertawa lebar.

"Aku yang bawa tehnya kepada Bapak. Kakak makan saja, ya." Ia merebut nampan berisi poci dan cangkir Tjong Lai dari tangan Ambar.

"Tapi ... Lintang ..."

"Tidak ada tapi-tapian," tukasnya judes.

"Kok, marah-marah?"

Lintang mengangkat kedua bahunya dengan acuh. "Aku ada perlu juga sama Bapak."

"Jadi ada maunya, ya? Paling juga mau minta pinjam mobil sama Bapak buat pamer 'kan?" ejek Ambar. Lintang tersenyum lalu jutek lagi.

"Ih, kok gitu?" protes Ambar.

"Kakak sok tau! Yee tapi beneran mau pinjam mobil. Bye bye."

"Apa tuh bye bye?"

Nyonya Rumah. (Tamat)Where stories live. Discover now