Babak II : 16. Perisai dan Pelindung.

2.3K 311 58
                                    

"Aku nggak punya kopi atau teh krisan. Kau mau air putih saja?"

"Ya. Air putih saja."

"Itu ceretnya ada di dapur. Ambil sendiri," tukas Ambar kemudian menghilang ke kamar untuk mengurus Arimbi yang baru diperbolehkan pulang dari rumah sakit.

Lintang tak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya mendengar ucapan Ambar. Setidaknya perintahnya membuat dirinya yakin kalau wanita itu tak putus asa dengan keadaannya. Mendengar ibunya Arjuna berkata dengan ketus jauh lebih baik daripada mendapatinya dengan kondisi memprihatikan dengan gizi buruk seperti saat di rumah sakit.

"Aku bawa cake. Cake memang cocok dengan air putih," tukas Lintang masih tersenyum sendiri di dapur.

"Arjuna mendengar kata cake, Paman," kata Arjuna yang tiba-tiba muncul di dapur kecil itu.

"Di mobil Paman. Belum sempat dibawa turun," jawab Lintang. Mobil diparkir di mulut gang karena rumah sewa ini terletak di jalan sempit yang tak bisa dilalui mobil. Sewaktu masuk ke gang, Lintang menawarkan diri menggendong Arimbi sampai melupakan cakenya.

"Arjuna ambilkan. Sini, kunci mobil Paman."

"Memang Arjuna bisa buka pintu mobil Paman?"

"Tentu, dong. Paman Heru yang ajarin."

Lintang merogoh kuncinya dan menyerahkannya kepada Arjuna.

"Hati-hati, ya. Lihat ada mobil waktu buka pintu."

Arjuna sudah berlari-lari keluar dari rumah. Lintang tak yakin anak itu mendengarkan pesannya dan mulai menyesal membiarkan keponakannya mengambil cake sendiri. Ketika ia hendak menyusul, Ambar keluar dari kamar.

"Mau ke mana?"

"Nyusulin Arjun ngambil kue di mobil."

"Biarkan saja. Anak itu sudah terbiasa di lingkungan sini," jawab Ambar.

"Yakin? Ah ... kususul saja."

"Tidak apa-apa, Lintang. Arjuna sudah bisa keluar masuk gang sendiri. Dia juga bantuin aku jual kue ..."

Ambar tak jadi melanjutkan ucapannya. Tak ingin terdengar seperti sedang mencurahkan penderitaannya pada adik iparnya. Mantan adik ipar tepatnya.

"Apa tidak ada yang ingin kau tanyakan?"

"Tidak ada yang ingin kau sampaikan?"

Suara keduanya bertemu, saling tatap, kemudian merasa kikuk dan memalingkan wajah ke arah lain.

"Aku mau gugat cerai  Harjo," kata Ambar dengan nada datar.

"Hm ... aku sudah dengar. Kau yakin, Ambar? Maksudku ... sekarang kau ..."

Lintang tak melanjutkan ucapannya. Ambar pasti sudah tahu apa yang hendak pria itu katakan. Situasinya tak sama seperti saat pergi dari rumah karena kehamilannya.

"Aku akan menceraikannya."

"Kau tidak akan memberitahukannya? Ini nggak adil bagi Harjo. Anak ini ..."

Ambar tertawa getir sampai Lintang bergidik dengan suaranya. Wanita itu pasti merasakan kepedihan yang mendalam dengan kondisi hamil dan mau berpisah dengan suaminya.

"Kau pikir ini adil buatku?"

Lintang diam. Sesungguhnya dia tidak tahu apakah perceraian adalah keputusan yang tepat sekarang ini untuk Ambar. Bertahan juga bukan jalan terbaik karena wanita itu harus siap menerima Wiwik sebagai istri kedua.

Nyonya Rumah. (Tamat)Where stories live. Discover now