Babak I : 10. Arjuna Oetomo.

1.9K 246 29
                                    

Mulmed.

Maret 1970.

Harjo berjalan mondar-mandir di depan kamar bersalin dengan wajah kuatir. Duduk juga di kursi ruang tunggu, Bik Sumi. Wanita tua itu kebetulan yang mengabarkan kepada Harjo kalau Ambar akan melahirkan. Selain itu, ibu mertuanya Harjo beserta adik Ambar juga ada di sana.

Sebelum ke rumah sakit, Harjo menyempatkan diri untuk menjemput ibu mertuanya untuk menemani Ambar, sebab Lastri menolak ikut, padahal ia butuh ibunya yang sudah berpengalaman dalam hal melahirkan. Bahkan Lastri bilang kalau Harjo hanya perlu menjemput dukun beranak di kampung supaya istrinya bisa melahirkan di rumah.

Harjo mengabaikan saran ibunya. Ia lebih memilih membawa Ambar ke rumah sakit menuruti ide Lintang. Lintang tak punya pengalaman soal wanita melahirkan, tapi adiknya itu paling pintar dalam keluarga, dia bisa disebut sebagai tangan kanannya bapak. Pada tahun 1965, menjelang pergolakan politik, anak itu yang mengusulkan agar uang simpanan bapak dibelikan tanah, terbukti dia benar. Tak ada gunanya memiliki uang di saat segala aspek sedang tak menentu. Karena keberhasilannya membantu Tjong Lai menghadapi badai perekonomian, sejak saat itulah, kata-katanya selalu didengarkan oleh bapak. Dia bilang pada bapak supaya simpan dana di bank, diikuti. Dia sarankan bapak buat ikut usaha industri karet dengan beberapa teman yang dekat dengan orang pemerintah juga diikuti. Memang harus diakui berkat otak encernya, semua anggota keluarga Oetomo hidup enak. Tjong Lai sekarang hanya sebagai pengawas, segala urusan dibagikan kepada anak-anaknya dan bila diperlukan saran, maka ia akan bertanya pada Lintang. Anak itu sekarang sudah dibelikan mobil oleh Bapak.

Harjo iri pada Lintang. Bukan karena Tjong Liang mempercayakan usaha keluarga pada adiknya, tetapi karena saudaranya itu memiliki kesempatan untuk belajar. Dulu dia pernah bilang sama Lastri kalau dia ingin sekolah tinggi, ibunya mengemukakan alasan kalau sekolah itu hanya berguna untuk orang yang ingin duduk di pemerintahan, sedangkan bagi keluarga Oetomo, cari duit itu lebih penting. Harjo wajib meneruskan usaha bapaknya, yang saat itu usaha Tjong Lai hanya ada toko obat tradisionil yang semua didatangkan dari Tiongkok.

Harjo benci berada di toko obat, terlebih lagi dia benci bau bahan-bahan obat dari rumput-rumputan. Dia buta membedakan mana rumput yang bagus, yang cocok menambah tenaga. Endang lebih baik dibanding dirinya. Harjo lebih baik mengurus keuangan bapak, tapi Tjong Lai terkadang juga sulit mempercayakan keuangan pada anaknya. Dia mengira semua anaknya akan sama seperti Koesman. Sampai sepuluh tahun lalu, orang tua angkat Lintang harus kembali ke Inggris. Tante Rosa, sepupu Lastri ingin Lintang ikut bersamanya karena dia dan suaminya tak punya anak. Namun Tjong Lai bersikukuh kalau Lintang tak boleh pergi. Anak itu boleh meninggalkan Indonesia kalau bapaknya sudah meninggal. Tante pun pergi tanpa Lintang, tapi ia meninggalkan sejumlah harta yang dapat dipergunakan anak itu kelak. Adiknya bisa terus kuliah tanpa ayahnya menyokong dananya. Bahkan kalau dia menikah nantinya, rumah Tante Rosa sudah atas namanya. Lintang memang istimewa, Harjo yakin semua saudaranya pasti iri padanya. Tidak ada yang mengerti, di antara semua anak Tjong Lai dan Lastri, hanya Lintang yang diangkat anak oleh Tante. Bukankah Harjo yang lebih dulu dilahirkan, kenapa Lintang yang diambil?

Suara tangisan bayi terdengar dari dalam ruang bersalin, membuat Harjo kaget, begitu juga dengan ibu mertuanya.

"Itu suara cucuku," katanya dengan mata berkaca-kaca. Harjo mendekati ibu mertuanya dan duduk di sampingnya.

"Iya, Bu. Itu suara anakku. Oetomo!" katanya bangga.

Tak lama kemudian, bidan muncul dan memanggil Harjo.

"Bapak Harjo!"

Harjo berdiri dan mendekati bidan perempuan itu.

"Selamat, Pak. Anak Bapak, laki-laki."

Nyonya Rumah. (Tamat)Where stories live. Discover now