Bab 3. Terasing

32 3 0
                                    

"HAHAHAHA" Gelegar tawa Maman pecah saat Adam terpojok dan mengeluarkan silet miliknya ke arah ia dan kawan-kawannya. "Silet? Kamu mau ngelawan kami pake itu?" Ejeknya.

Adam tetap menjaga kuda-kudanya. Mati mempertahankan diri, atau dijajah selamanya. Hanya itu pilihannya sekarang. Ia tidak peduli apa yang akan terjadi setelah ini. Tangannya terjulur, waspada untuk menyambar siapa saja yang berani mendekatinya. Punggungnya menghadap dinding gedung belakang sekolah, sehingga ia bisa fokus kepada apa yang di hadapannya.

Maman dan gengnya mengujinya, salah satu maju mengancam, membuat Adam mengayun-ayunkan silet di kedua tangannya dengan liar.

"AKU SERIUS! JANGAN MENDEKAT!" Adam berteriak. Peluh di pelipisnya penuh. Bagaimana pun, ia sesungguhnya merasa takut. Jika silet ini jatuh ke tangan lawan, maka habis sudah dirinya.

Kedua Mata Maman menatap kejam. "Anak kecil, jangan sok jagoan, maneh." Nadanya mengancam mengerikan. Perlahan, ia maju ke depan.

Adam kembali mengayun-ayunkan tangannya dengan tatapan awas. Kesempatannya hanya sekali, setelah itu, ia tidak tahu bagaimana nasibnya.

Maman menerjang. Adam langsung menyabet gerakan yang hampir mengenai tubuhnya dengan cepat dan kuat.

BYAAAR.

Aliran darah menyembur dari bagian tubuh yang terluka. Adam mengerjap.

"AAAAAARGHHHH!" Maman jatuh, memeluk pergelangan tangannya yang mengeluarkan darah segar.

Dalam sekejap, wajah ketiga temannya berubah pucat pasi. "Maman! Maman! Gak apa-apa?"

Adam sama pucat pasinya. Namun melihat targetnya tepat sasaran, ia menjadi semakin berani. Kini ia menatap satu-satu lawan yang berdiri. Apakah mereka akan menyerang, atau dia duluan yang menyerang?

Melihat lawan-lawannya masih ragu, Adam memutuskan maju. Ia melangkah, sambil mengayun-ayunkan kedua siletnya dengan tatapan serius. Merasa ngeri dan bingung karena tak ada komando, para perundung itu mundur teratur.

Maman mengangkat wajahnya lalu menyadari, Adam berbeda. Dia bukan lagi laki-laki bertubuh kecil yang bingung kenapa ia dirundung. Di mata Maman, seketika Adam menjadi seorang lelaki dewasa yang telah siap melindungi martabat dan harta bendanya. Bukan sosok yang menarik lagi untuk dikerjai. Sial. Ia dan Adam masih sama-sama kelas 1 SMP. Ia tidak siap berurusan dengan kepolisian. Di masa Presiden Soeharto sekarang, ia sudah diwanti-wanti ibunya untuk tidak pernah berurusan dengan hukum.

"Mundur. Mundur!" Maman segera memberikan perintah. Meringis sambil menekan bagian tubuhnya yang terus mengeluarkan darah, Maman memberikan tatapan terakhir ke Adam, sebelum benar-benar meninggalkannya.

Adam bergeming di tempatnya. Menatap nanar ke arah para perundungnya sampai mereka hilang dari pandangan. Kedua silet jatuh dari tangannya. Jemarinya gemetar. Seumur-umur, baru kali ini ia melukai seseorang seperti itu. Ia teringat kepada ayahnya. Hanya berbeda beberapa tahun dengan usianya sekarang, almarhum ayahnya dulu bahkan terpaksa berhenti sekolah di MULO untuk dilatih menjadi Calon Pemimpin Seinin Kunresho ketika Jepang telah masuk ke Indonesia. Baru-baru ini, ia mendengar kisah tentang ayahnya tersebut dari mantan anak buah setia ayahnya.

Adam mulai menangis kembali, rindu kepada ayahnya kian menganga. Ia tidak boleh mempermalukan ayahnya. Sebagai anak pejuang, ia harus bisa melindungi dirinya sendiri, dan kelak melindungi keluarganya. Adam lalu menggigit bibirnya, bersumpah ini menjadi tangisan terakhirnya. Setelah ini, ia akan menjadi lelaki yang lebih baik.

***

Bayangan Maman yang terluka tidak bisa lepas dari benak Adam meski ia berusaha mengalihkan perhatian dengan membaca buku-buku R.A. Kosasih. Mahabarata, Baratayudha, Pandawa, semua sudah ditamatkannya untuk kesepuluh kalinya.

Adam menghela napas. Sesuatu telah berubah dalam dirinya. Ada kegelisahan yang mendesak, yang membuatnya tak nyaman jika tidak melakukan sesuatu. Mata Adam menjelajahi kamarnya yang sempit. Apa lagi yang bisa ia baca? Televisi tidak bisa ditonton. Jatah menonton keluarga ini hanya malam hari pukul 8 sampai pukul 10. Itu pun akan dijeda oleh siaran Dunia Dalam Berita.

Pandangannya kemudian tertuju kepada buku-buku pelajarannya yang teronggok di dalam tas. Adam mengambilnya. Tanpa berpikir banyak, ia kemudian membuka halaman demi halaman, persis seperti ia membuka lembaran-lembaran Mahabrata dan Baratayudha. Otaknya kemudian berusaha memahami apa yang ingin disampaikan pembuat buku-buku pelajarannya. Ia mengambil pensil, dan mulai bicara sendiri. Bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di buku. Ketika satu bab buku selesai, ia lalu mengambil buku lainnya. Dan melakukan hal yang sama. Sampai ia lelah, lalu tertidur di atas meja.

"Adam, makan malam dulu." Ketukan di pintu kamarnya membangunkan Adam. Ia menatap sekitarnya dengan kebingungan. Sejak kapan hari menjadi gelap? Adam lalu menuruni tangga ke bawah dari kamarnya.

Seluruh keluarga kemudian berkumpul di meja makan. Mereka makan dengan tata krama. Tidak ada suara berdecak di meja makan. Obrolan-obrolan ringan mengalir. Namun lagi-lagi, Adam menyadari semuanya telah berbeda.

Entah kenapa ia merasa terasing. Untuk pertama kalinya seumur hidupnya, ia baru menyadari, bahwa tempat ini bukan rumahnya. Iya, ini adalah tempat ia dibesarkan dari bayi. Iya, kedua orang tua di hadapannya adalah kakek nenek yang mengasihinya. Namun, mereka bukan orang tuanya. Sebetulnya, mereka tidak punya kewajiban untuk mengurusnya. Makanan ini, atap ini, kursi ini, semuanya adalah karena kebaikan hati mereka kepada dirinya. Ia adalah anak lelaki tidak beruntung yang kehilangan ayahnya dan kini dirawat oleh keluarga ayahnya. Anak yatim yang perlu tahu diri. Semua kebaikan ini kelak adalah hutang, yang harus ia bayar.


Mulo : Meer Uitgebreid Lager Onderwijs. Istilah sekolah menengah pertama di jaman Hindia Belanda.

Adam 1974Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang