Bab 3 (Putra POV)

183 34 19
                                    

Bismillahirrahmanirrahim, semoga suka dengan part ini. Jangan lupa vote dan juga komen ya, terima kasih❤️

----

Aku untuk kamu...
Kamu untuk aku...
Namun semua, apa mungkin
Iman kita, yang berbeda
(Song peri cintaku)

-Imam untuk Airin-

----

Jika bukan karena perintah si ember bocor, mana mau aku harus membaca materi sebanyak ini. Ini, sih, namanya penyiksaan yang tidak ada tolerannya.

Malam sudah menunjukkan pukul sembilan, tetapi Ayah dan juga Bunda belum juga pulang dari gereja. Sudah, mah, perut aku keroncongan, di dapur nggak ada makanan sedikit pun, ditambah lagi materi yang dikirimkan oleh si ember bocor itu. Mana bisa otakku bekerja secara maksimal jika perut saja tidak mendukung.

Kuputuskan untuk mengakhiri mempelajari materi itu, percuma saja jika sepeserpun kalimat yang kubaca tidak ada yang nyangkut di otak. Lebih baik, aku push rank saja.

Layar ponsel sedang menampilkan kata loading untuk memulai permainan ini. Beberapa detik berikutnya, game pun dimulai.

Perlahan tapi pasti, kubantai satu persatu musuh yang berusaha untuk menyerangku. Dengan senjata yang memadai, tak sulit bagiku untuk menghabisi mereka hanya dalam waktu sekejap.

"Oh, jadi belajar yang dimaksud itu main game?"

Sial! Itu kan suara bunda. Bisa mati kutu aku diocehin sama bunda. Dan bisa-bisa kupingku akan pengang. Meskipun bunda dan Airin memiliki sifat yang sama, yaitu sama-sama suka marah-marah, tapi bunda jauh lebih kejam dari pada Airin.

"Bilang aja, malas untuk ibadah, kan?"

Sudah lah, tamat riwayatku malam ini harus mendengarkan ocehan panjang bunda sebagai dongeng sebelum tidur.

"Jadi pemuda, kok, malas untuk beribadah. Giliran game aja, nggak ada kata malas."

Aku harus gimana ini? Jika terus melanjutkan permainannya, bunda akan makin marah kepadaku. Tapi jika kubiarkan game ini, bisa matilah aku.

Yah, yah, kan mati. Dah lah.

Aku berdecak. "Bun, nggak gitu,"

"Apa?! Tadi kan kamu izin ke bunda katanya mau belajar, kenapa malah main game? Kamu itu udah semester lima, sampai kapan kamu mau terus-terusan kaya gini, Putra! Bunda mahal-mahal bayar kuliah kamu, tapi kamunya malah main-main terus. Lebih baik kamu keluar aja terus jadi tukang becak, biar lebih bermanfaat bagi Nusa dan bangsa."

"Eh, jangan dong, Bun. Gini-gini Putra mau nama Putra ada gelarnya dibelakang."

"Anak malas, mana bisa dapetin gelar?"

"Pasti bisa dong, bun. Kalo Tuhan udah berkehendak, bunda bisa apa?"

Skakmat. Akhirnya aku bisa membalas ucapan bunda dan kini bunda hanya diam, bingung harus menjawab apa. Jangan salah loh, gini-gini aku juga pandai berdebat.

"Terserah kamu. Udah sana turun, bunda tadi beliin kamu pizza."

Ini nih yang buat aku tambah sayang sama bunda. Ya, meskipun mulutnya suka nyeroscos mulu, tapi bunda selalu perhatian sama aku. Meskipun aku tidak minta untuk dibelikan pizza, tapi bunda tau jika aku sebenarnya lapar. Ah, Putra sayang bunda.

"Cepetan sana ke bawah!" perintah bunda dengan suara yang menggelegar.

"Santuy Bun, Putra nyelesaiin gamenya dulu."

Imam Untuk Airin ✓Where stories live. Discover now