E N A M B E L A S

23 10 0
                                    

Selamat Membaca 🍀

Selepas kepergian Seyna, Reanna langsung pamit dan mengejar Seyna. Begitu pun dengan Austin, Valerian, dan Revindra yang ikut pamit setelah beberapa menit kemudian Reanna pergi.

"Len, gue duluan, ya." Tanpa menunggu balasan dari Galen, Gavin yang memang masih ada di situ, ikutan pergi.

"Kenapa pergi semua? Kehadiran gue buat mereka engga nyaman, ya? Gue salah apa?" tanya Keyra pelan.

Galen melirik. "Mereka udah pada selesai. Lo santai aja."

Keyra diam. Memilih melanjutkan kegiatan makannya walaupun sebenarnya ia sudah tidak nafsu untuk makan. Begitu juga dengan Galen.

Sedangkan di sisi lain, Reanna mendudukkan di sebelah Seyna yang duduk dibangku mereka. Baru juga Reanna duduk, Austin, Valerian, Revindra, dan Gavin masuk ke dalam kelas. Menghampiri kedua gadis itu.

"Sey," panggil Reanna hati-hati.

Seyna tidak menyahut. Kepalanya menunduk menatap meja. Tapi, Reanna dapat melihat kalau mata Seyna memerah, karena Seyna sempat mendongak sebentar tadi.

Melihat itu, Reanna memutuskan untuk tidak bertanya. Tangannya terulur menarik bahu Seyna untuk bersandar dibahunya.

Reanna paham. Reanna mengerti apa yang membuat Seyna seperti ini.

Reanna mengusap lembut rambut Seyna. "Tenang, Sey. Mungkin mereka cuman engga sengaja barengan." ucapnya pelan.

Isakan terdengar dari mulut Seyna.

Sedangkan keempat pemuda itu saling melirik. Gavin bertanya pelan. "Seyna kenapa?"

"Gue juga engga tau." jawab Valerian.

Seseorang masuk ke dalam kelas 11 IPS 2 itu. Mata pemuda itu menerjap beberapa kali saat matanya menangkap sosok Seyna yang tengah menangis.

"Seyna," Pemuda itu melangkah menghampiri. Matanya menatap bergantian pada empat orang yang berdiri di dekat meja Seyna dan Reanna. "Seyna kenapa?"

"Engga tau." Austin menjawab.

Helaan nafas keluar dari mulut pemuda itu. Ia menatap gadis di samping Seyna. "Gue boleh duduk di situ?"

Reanna menatap Arkan sejenak lalu mengangguk. "Bentar, ya, Sey." Reanna mendorong pelan tubuh sahabatnya, kemudian berdiri. Membiarkan Arkan duduk ditempatnya.

Tanpa kata, Arkan menarik Seyna ke dalam pelukannya. Seyna tidak menolak.

Niatnya ke kelas ini adalah untuk memberitahu Seyna tentang seleksi lomba karate itu. Tapi melihat kondisi Seyna saat ini, membuat Arkan mengurungkan niatnya.

"Lo kalau mau nangis, nangis aja. Gue ada di sini. Kalau ada apa-apa lo bisa cerita ke gue," ucap Arkan.

"Gue setuju," Valerian bercelutuk. "Kita semua temen lo, Sey. Lo bisa cerita ke kita,"

"Ah, Sey. Lo jangan gampang nangis gitu dong. Lo 'kan kuat. Lo nangis gini, ngebuat gue ngerasa kalau lo bukan Seyna bar-bar yang gue kenal," timpal Austin disambung oleh tawanya.

Revindra berdesis. "Mending lo diem aja deh, Austin."

Austim tidak menanggapi, ia masih menatap Seyna yang dipeluk oleh Arkan. "Lagian lo kenapa sih, Sey? Biasanya juga selalu cerita ke gue atau yang lain. Kenapa lo mendadak nangis gini? Lo 'kan anak karate, harus kuat dong." cerocos Austin.

"Austin, diem deh," jengah Ravindra.

Pemilik nama itu mencibikkan bibirnya. "Iya deh iya."

Seyna mendengarkan apa yang diucapkan teman-temannya, tapi hanya sebatas masuk telinga kanan lalu keluar telinga kiri. Kepalanya yang tadi terbenam di bahu Arkan, menyamping menatap ke arah bagian depan kelas.

Perfect Stranger (END) Where stories live. Discover now