BTW//LT-19

1.8K 183 12
                                    

→Luke Hemmings←

Aku menatap sebuah foto bersama Louis semasa sekolah menengah pertama. Dulu kami sangat dekat sekali bahkan ayahku dan ayahnya menjalin hubungan kerjasama dalam perusahaan. Tapi semenjak ibuku pergi dari rumah akibat ulah ayahku, saat itu pula hubunganku dengan Louis mulai merenggang.

Aku ingat dulu di penghujung hari, ketika musim panas segera berakhir. Saat itu Louis datang kepadaku dengan tergesa-gesa.

"LUKE!"  Aku menoleh dan mendapati Louis tengah berlari menghampiriku dengan nafas yang terengah-engah. "I-ibumu, Luke—"

"Ada apa dengan ibuku?"

Emosiku langsung  memuncak setiap kali Louis selalu bertanya tentang ibuku. Aku tidak suka cara dia memandangku ketika sudah membicarakan soal ibu.  Aku merasa dia seakan mengasihani diriku. Sejujurnya aku pun merasa iri padanya. Aku hanya butuh keluargaku lengkap seperti keluarganya. Tidak ada pertengkaran, tidak ada teriakkan atau bahkan tangisan. Louis beruntung. Dia mendapatkan semuanya, ibu, ayah, keluarga dan kebahagiaan.

Sedangkan aku? Aku tidak punya semuanya. Keluargaku hancur!

"Ibumu mencarimu, dia ingin bertemu denganmu. Sebenarnya ibumu akan kemana?" 

Aku mengerutkan keningku. Tidak mengerti apa yang dikatakan Louis. "Maksudmu?"

"Dia membawa dua koper. Menangis dalam kebingungan."

Apa?

Ibu membawa dua koper? Dia menangis? Pasti ibu sudah memutuskan untuk pergi dari rumah. Aku harus menemuinya.

Tanpa berpikir panjang aku berlari dengan secepat mungkin meninggalkan Louis mematung mungkin dengan sebuah tanda tanya besar. Aku yakin pasti setelah ini dia akan tahu semua tentang keluargaku.

Persetanan dengan Louis. Aku harus mencari ibuku.

Aku terus mengucapkan kata 'tunggu' dalam hati berharap semua itu terjadi. Ibu pasti menungguku. Lalu aku membuka pintu kafe kecil diseberang sekolah. Tempat dimana ibu dan aku akan selalu mengobrol berdua, tidak peduli dengan besar kecilnya kafe ini yang penting aku bisa merasakan kasih sayang dan kebahagian bersama Ibu.

Bersama dengan keringat yang bercucuran di dahiku dan nafas yang terengah-engah, aku menyapu setiap sudut ruangan di kafe ini. Berjalan kearah meja paling pojok—tempat dimana aku dan ibu selalu mengobrol. Namun ternyata hanya ada secangkir teh yang masih utuh dan aku sempat melihat tulisan di dinding yang sangat kukenal.

Itu tulisan ibuku.

'How are you, Luke? Mom hope you're fine. Don't worry about me. Mom will be fine.'

Aku tersenyum getir, kakiku terasa lemas seolah semuanya sudah berakhir. Tidak ada lagi kebahagiaan, tidak ada lagi kehangatan yang dapat aku rasakan, tidak ada lagi sosok yang selalu membuatku luluh.

Semuanya terlambat.

Ibu, bagaimana aku akan baik-baik saja, jika aku kehilanganmu? Mengapa kau harus pergi? Kau tahu aku membutuhkanmu. Aku menyayangimu. Mengapa ibu harus pergi! Kumohon kembali.

"Luke."

Seseorang memanggil namaku. Aku menghapus air mata dengan kasar dan menoleh ke arah Louis yang berdiri di belakangku.

Aku tertawa hambar. "Kau sudah tahu semuanya, Lou? Apa sekarang kau senang? Atau merasa menang?"

"Apa maksud—"

"Jangan berpura-pura bodoh. Aku sudah kehilangan posisiku sebagai ketua basket, aku sudah kehilangan kesempatanku bertemu dengan ibuku dan sekarang, aku kehilangan Ibuku dan itu semua karena kau!"

Better Than WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang