029

83 3 0
                                    

"DONNI" teriakan Alano menggelegar sesampainya dirumah. Dengan terburu-buru Donni datang menghampiri Alano yang tampak marah. Mata memerah serta tatapan mata tajam itu, membuat Donni takut.

" Ya tuan " ucap Donni sesampainya di depan Alano, sedangkan Aku sudah dibaringkan disofa yang berada diruang tamu. Donni melirikku sebentar, sedangkan aku yang dilirik hanya mampu menundukkan kepala dikarenakan rasa takutku akan kemarahan Alano.

" Perketat penjagaan dirumah ini, jangan sampai kamu mengecewakan saya lagi " titahnya mutlak tidak boleh di bantah lagi.

"Baik tuan" sahut Donni.

Setelahnya, Donni pamit undur diri dan langsung menjalankan perintah Alano. Sedangkan Alano, langsung beralih kepadaku, hendak menggendongku lagi. Tangannya sudah berada di lipatan kakiku, tapi sebelum itu terjadi aku langsung menyentak tangan kekar itu kuat.

"Tidak usah. Saya bisa sendiri " tolakku mentah.

Tapi Alano tetaplah Alano, pria dingin dengan sejuta rahasia  kehidupan. Sampai sekarang saja aku tidak tahu kehidupan apa dibalik sikapnya sekarang. Apakah kehidupan masa lalu yang kelam membawanya menjadi bersikap dingin atau tidak. Sebab Dia sangat pandai untuk menyembunyikan itu. Lagi- lagi aku menepis tangan Alano yang ingin mengangkatku.

" Jangan membantah " geram Alano melihat kekeras-kepalaanku yang menolak . Aku langsung bangkit berjalan sendiri menuju tempatku yang sejak awal aku tempati.

" Mau kemana ? " serunya.

Sejujurnya kadang aku merasa bingung dengan cara bicara Alano, Dia tidak pernah memanggil namaku. Tidak pernah sekalipun. Aku menoleh untuk melihat Alano sebentar.

" Ke tempatku semula " ujarku sembari mengarahkan pandanganku pada ruangan yang akan aku tuju. Aku lihat dia tidak bertanya lagi, aku berjalan pelan menuju ruanganku dan membaringkan tubuhku di atas ranjang kamarku. Tubuhku sungguh lelah dengan aksi kabur-kaburanku. Kabur- kaburan berakhir sia-sia.

"Aku ingin pulang" lirihan kecil yang aku keluarkan sebelum aku berlalu ke alam mimpi. Selama tidur aku malah terjebak dalam ilusi atau mimpi, akupun tidak tahu.

Dalam tidurku aku melihat Ayah yang terbaring lelap dengan wajah tenangnya. Namun ada yang beda dari Ayah, wajah Ayah tampak pucat. Di samping Ayah tidak jauh berbeda dengan Andra yang tampak hancur, keadaannya tidak bias dibilang baik- baik saja.

Tapi yang menjadi fokusku adalah Ayah.

"Ayah kenapa?" tanyaku pada Andra. Bukannya menjawab, Andra malah diam tanpa perduli kehadiranku. Aku beralih pada Mama Sena yang sudah menangis disamping Ayah.
Melihat itu pikiran burukku semakin liar, aku sudah memikirkan hal yang aneh.

"NGGAK!!!, Ayahhh enggakk!!. Ayah nggak boleh pergi. hiks" aku menangis meraung-raung, memukul dadaku berharap rasa sakit itu menghilang. Nyatanya rasa sakit itu tak kunjung hilang tapi semakin sakit. Karena faktanya Ayah sudah tidak ada. Ayah sudah meninggalkanku sendiri.

"AYAHHHHHHH" teriakkanku membuatku tersentak dari tidurku. Aku meraup Udara sebanyak-banyaknya seakan aku sedang kehabisan pasokan oksigen dalam paru-paruku.
Syukurlah hanya mimpi. Tapi akibat dari mimpi itu, aku menjadi kepikiran dengan Ayah.

Otakku tak berhenti berputar tentang mimpi itu sedangkan hatiku menolak menerimanya.

"Kamu kenapa?" seru Clara yang memasuki kamarku dengan tergesa.

" Aku tidak papa" bohongku.

" Jika tidak, kenapa kamu keringat dingin, wajahmu juga pucat"

" aku kegerahan. "

"oh. itu biasa bagi setiap ibu hamil"

" hmmm"

" Jangan lupa memakan makananmu" pesan Clara.

T E R P A K S A [END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang