Ch. 26

290 50 6
                                    

"senja, saya mohon, buka pintunya ya? ada yang mau saya jelasin," ucap hyunjin memohon. keduanya terhalang oleh pintu kamar jeongin yang tertutup rapat tanpa celah.

ini sudah hari ke tujuh sejak kejadian yang lalu, dan sampai hari ini, jeongin menolak untuk keluar dari kamar dan berinteraksi dengan orang lain. hanya minho yang dapat masuk dan bicara pada jeongin, itupun sesekali diabaikan oleh yang lebih muda. jeongin bahkan tak mengizinkan bundanya masuk.

seseorang menepuk bahu hyunjin dari belakang, "nak sekala pulang dulu ya? sudah larut. besok datang lagi kesini, bujuk lagi senjanya," yoona berbicara sambil tersenyum hangat, sedang hyunjin hanya mengangguk sambil tersenyum kecut sebagai jawaban.

"iya bunda, sekala pamit ya, bun. maaf ngerepotin bunda terus."

yoona mengelus pucuk kepala hyunjin maklum, "gapapa nak, hati hati ya," lalu berjalan mengantar kepergian pemuda itu.

selepas kepergian hyunjin, minho berjalan menghampiri yoona yang masih terdiam lesu di ambang pintu depan rumah.

"bun, masuk dulu yuk? nanti ino bicara sama adek," minho meraih kedua bahu yoona, kemudian menuntunnya ke ruang tamu dan duduk di sofa.

wanita itu terdiam sebentar, kemudian mulai terisak pelan, "adek kenapa sih, no? bunda ngerasa jauh banget sama adek sekarang. bunda kangen adek no."

"bun, bunda sekarang masuk kamar ya? ino coba ngomong sama adek," minho coba menenangkan yoona, kemudian membawa wanita yang membesarkannya itu kedalam kamar.

pemuda itu keluar dari dalam kamar dengan hati-hati setelah memastikan yoona telah tertidur. ia menghembuskan napas berat sejenak sebelum akhirnya melangkahkan tungkai menuju kamar sang adik.

"adek, ini abang. abang masuk, ya?" tanya minho lembut, kemudian mendorong pintu yang tak dikunci itu dan melangkah masuk, menemui sang adik yang duduk sambil menatap kosong ke arah jendela dengan jejak bekas air mengering di pipinya yang kian menirus.

minho menarik jeongin kedalam pelukannya, membiarkan rasa hangat menyalur ke tubuh kurus itu. tangannya mengusap pelan jemari tangan halus jeongin yang dingin, "adek kenapa? coba cerita sama abang."

masih sama seperti malam-malam sebelumnya, jeongin enggan menjawab pertanyaan yang dilontarkan beratus kali oleh sang kakak.

kedua netra yang lebih tua menerawang ke langit-langit kamar jeongin yang dipenuhi hiasan bintang, "adek, abang sayang adek, sampe rasanya abang bisa mati kalau adek kenapa napa. adek tau? tadi bunda nangis didepan abang, katanya dia kangen adek."

"tapi adek malah diem, ga keluar kamar, ga mau makan, ga mau ketemu sama bunda juga. abang ga suka liat adek begitu, tapi abang lebih engga suka liat bunda nangis karena dia kangen sama adek."

mendengar kalimat yang minho lontarkan, jeongin mulai terisak lagi. entah sudah berapa kali ia menangis tanpa henti setiap malam ketika mengingat foto-foto dan isi surel yang terus berputar di memorinya seperti kaset rusak.

jeongin berbalik, kemudian mencengkeram kerah kaus yang minho kenakan, "bang, hiks- adek sakit bang! sakit disini.." jeongin menunjuk kearah dadanya.

"adek yakin bunda tau kalau adek punya saudara tiri, kenapa bunda engga bilang dari awal?! kita udah ngomong bareng kan bang waktu itu? kenapa harus adek tau dari orang lain lagi?!" teriak jeongin marah. hidung dan matanya memerah, membuat minho ikut merasakan perasaan sakit yang dialami adiknya.

"dek, abang yaki-"

jeongin bangkit tergesa dari pangkuan minho, lalu menyambar ponsel miliknya dengan kasar. jemarinya tak sabaran mengetuk layar ponsel, kemudian dilemparnya benda itu ke yang lebih tua, "LIAT! ABANG LIAT SENDIRI ISINYA APA!"

𝘴𝘦𝘯𝘫𝘢𝘬𝘢𝘭𝘢 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang