⭕Epilog⭕

425 23 4
                                    

  Dua bulan kemudian ....

  Si bencong berlipstik tebal yang ada di hadapan gue duduk ini belum kelar-kelar juga merias wajah gue. Sanggul yang dia buatkan bisa  diumpamakan segede gaban, bedak yang di pakaikan seputih tepung kanji, warna lipstik yang di pilih kayak warna bibir Vampir umumnya. Baju yang gue kenakan sepanjang triplek merah buat para model kontes biasanya.

  "Nah, syudah syelesai."

  Abang bencong meletakkan alat riasnya di box alat pertukangan, yang gue sendiri enggak tau kenapa bisa dia menggunakannya buat meletakkan alat make up. Mahkota di atas kepala gue miring sebelah, dengan cekatan abang bencong tadi menekan kuat mahkota tersebut sampai rambut gue rontok.

  "Gimana? Apa sudah selesai?" tanya nyokap, saking bahagianya anaknya ini mau kawin. Gue cuma mangut aja, sebab, sariawan laknat ini datang di waktu yang tidak tepat. Iya, kayak judul lagu 

  "Mari mama antar, Rio sudah nunggu kamu loh," titah nyokap, antusias.

  Gue bangkit dari kursi, sialnya, gaun sepanjang khatulistiwa ini di injak abang bencong dengan sepatu high heels-nya. Gue mengelus dada. Sabar. "Bwang, alun sala kaw ijak," ucap gue bersusah payah. Kemarin di suruh nyokap buat taburi garam di atas sariawan. Bukannya membaik, malah memperburuk. Dan gobloknya, gue nurut aja.

  "Hah? Kamyu ngomong, apya? Syaya ora pahyam."

  Ngomong aja berbelit-belit, gue menunjuk gaun yang di injaknya tanpa perasaan.

  "Ups, maafkeun syaya."

  "Sudah, ayo." Nyokap dengan gemasnya mencubit ketek gue yang baru di rexonain.

***

  Gue nggak sabar ketemu calon bini gue yang pasti sangat cantik melehoi. Apalagi, dua gunung kembar miliknya itu pasti sangat menonjol. Ah, nikmat mana yang engkau dustakan.

  "Wanita pengantinnya sudah muncul!" teriak salah satu tamu undangan perempuan yang mukanya putih banget, sedangkan lehernya sehitam arang.

  Buset, rasis banget gue.

  Gue menoleh ke belakang, di mana Zeze berada. Mulut gue melongo dibuatnya, bener 'kan apa kata gue, calon bini gue itu cantik banget. Tapi kok itu bulu mata apa bulu ayam?

  Zeze duduk di samping gue. Iris matanya menangkap iris mata gue yang terkagum-kagum akan penampilannya. Kulit putih, bibir mungilnya, hidungnya yang mancung, mata indahnya, dan buah dada yang besar, semakin membuat junior gue terangkat.

  "Gimana saudara Rio, apakah anda sudah ready?" Dengan cepat gue mengangguk, nggak sabar nanti malam sekamar sama bini sah gue. Biar ada teman olahraga malam, jadi guling buluk gue itu nanti langsung gue buang aja, 'kan sudah ada penggantinya.

  "Bismillah, saudara Rio saya nikahkan engkau dengan putri saya Bintang kejora binti Andra Sammuel dengan seperangkat alat sholat dan uang di bayar tunai ...!"

  "Saya terima nikahnya Bintang Kejora binti Andra Sammuel dengan seperangkat alat sholat dan uang di bayar tunai ...!"

  "Gimana para saksi, sah?"

  "SAH ...!"

  Sehabis ngucapin ijab qabul yang bikin bulu badan gue meremang, di wajibkan buat berdoa dulu.  Sekarang gue memiringkan duduk sehabis berdoa, dan Zeze juga ikut memiringkan duduknya agar berhadapan dengan gue.

  'Cup!

  Tanpa bertele-tele seperti novel lain, gue asal nyosor aja nyium puncak rambutnya. Gue lihat wajahnya bersemu merah, dilihat dari jarak dekat gini, jadi gemes. Gue sedikit memajukan duduk lalu membisikkan sesuatu di kupingnya. Yang mana, kedua pipinya langsung merona kayak tomat.

  "Nggak di bales, nih, ciumannya?"

  Zeze menahan tawa yang hampir menggemparkan seisi perkotaan. Dia menangkup kedua pipi gue, menatap lekat-lekat sepasang mata gue yang dari tadi seakan tidak mau lepas menatapnya.

  'Cup!

  Kecupan singkat dari Zeze, mengundang tawa riuh dari para tamu kondangan. Ya, Tuhan, nikmat mana lagi yang engkau dustakan. Bini gue tidak seperti istri biasanya, dengan mudahnya dia mencium pipi gue bergantian tanpa ada rasa malu sama para tamu yang lagi pada menatap kami berdua, seperti titik fokus mereka.

  Akh, mantap.

  "Kapan, nih, mau ngasih mama momongan?" Mamer menepuk pundak gue sambil mengerjap-ngerjapkan matanya yang gue lihat ada bulu mata kejepit di mata beliau.

  "Malam ini juga bisa " jawab gue selicin keramik baru di lap, mendengarnya, bini gue menarik bulu kaki gue yang lumayan panjang

  "Auw!" Tanpa memedulikan tawa para tamu undangan, gue asal gendong bini cantik gue ini. Nggak sabar, deh, pengen berduaan, menyicipi dirinya. Eh, maaf keceplosan.

  "Cie ...cepetan, ya, Nak, buatin anaknya," ucap nyokap di sambuti tawa meruah-riah.

  Zeze menyelinapkan kepalanya di ketek gue. Mahkota yang dia kenakan tertusuk lubang hidung gue. Dengan cepat, mahkota sialan itu gue lepasin, dan asal melempar hingga, mengenai kepala seseorang.

  "Adaww ...!"

  Gue melirik ke belakang, dimana mahkota segede khatulistiwa itu mengenai kepala Vino yang lagi memungut bekas kulit permen di lantai. Tawa gue meledak seketika, begitupun juga dengan yang lain.

  "Semoga lo cepat nyusul Vin," sahut Reval sama Pandu hampir bersamaan, diselingi dengan kekehan kecil mereka. Tawa gue berhenti, tatkala bini gue menatap suaminya ini lekat, tanpa ada bantuan lem ingus. Dalam hitungan detik, drama percintaan seperti di kerajaan akan segera terjadi.

  "Oh sayangku, cintaku mau berapa anak yang kau inginkan? Istrimu ini akan memberikannya semampu mungkin."

  "Oh sayangku, kepribadianku. Kalau boleh punya anak yang banyak."

  "Oh pahlawanku, kapan kita membuatnya?"

  "Oh my baby, malam ini juga bisa sepuasnya. Kalau bisa 11 anak, biar bisa bikin tim bola."

  "Oh, pangeranku ..."

  "Iya, sayangku, um, ada apa?"

  "Bisakah engkau secepatnya membawa istrimu ini ke kamar? Tali bra ku terlepas."

  Wajah bini gue memerah padam, dengan genitnya gue meraba-raba punggungnya buat mencari tali bra-Nya yang terlepas itu. Benar saja, itu tali kematian lepas. Gue membisikkan sesuatu, sehingga dada gue di pukulnya malu-malu.

  "Punyamu besar juga."

{END}

Diary Remaja [End]✓Where stories live. Discover now