14. Debur Ombak

12 0 0
                                    

Pantai yang terkenal dengan ombak setinggi tiga meter itu tampak tenang. Beberapa pedagang kacang rebus berjalan hilir mudik menawarkan dagangannya. Seorang laki-laki tinggi besar dengan perut sedikit buncit memandang hamparan air berwarna biru. Batas jarak pandang antar laut dengan langit membentuk garis lurus menembus waktu. Aktifitas di pantai perlahan menghilang seiring menghilangnya sang mentari berganti selarik bulan menggantung menemani malam. Hanya ada satu dua orang saja yang masih bertahan di lingkungan pantai hingga selarut itu.

Edi mendekati laki-laki berperut buncit bersama seorang wanita yang sudah berumur nembawa sekeranjang kecil bermacam jenis bunga. Aroma melati bercampur mawar, kantil, gading merah, gading putih dan sedap malam menguar menyambut debur ombak yang sudah menunjukkan ciri khasnya. Malam di pantai didominasi suara hempasan ombak setinggi tiga meter. Deburnya seakan memberitahu akan kekuatan yang tiada tara. Gemuruh gulungan ombak mendekati pantai yang diikuti gelegar pecahnya setelah mencapai pantai mengingatkan pesan para orang tua. Jangan main-main dengan pantai selatan. Itu pun dikatakan Bu Mirah beberapa hari lalu. Laut benar-benar terlihat garang di malam hari.

Edi menarik resleting jaketnya ke atas menutup tubuhnya. Sedang Bu Mirah tampak tenang meskipun hanya mengenakan kaos tanpa krah dengan kain batik motif klasik jenis parang kusumo. Wanita yang tidak muda itu tidak terpengaruh dinginnya angin malam.  Mungkin karena kain yang dipakainya melambangkan debur ombak. Sesuai makna yang terkandung bahwa diharapakan pemakaianya mampu menghadapi hemapasan hidup seganas ombak di laut. 

"Kita jalan ke arah sana, Pak Raden."

Tanpa basa-basi Bu Minah yang masih saudara dengan Edi menunjuk arah sambil terus melangkah. Pak Raden dan Edi mengikuti dari belakang. Berjalan di atas pasir lebih berat dari tanah biasa sehingga jarak yang ditempuh terasa jauh. Tak lama Bu Minah berhenti menatap tumpukan batu karang berwarna hitam sebesar rumah.

"Di balik karang itu ada goa." Bu Minah berhenti bicara dan menengok ke arah Raden Mas Sastro Sumitro.

"Saya dan Edi menunggu di sini. Yang kemarin saya bilang dibawa, kan, Pak?"
Pak Raden menggangguk.

Bu Minah dan Edi menatap Pak Raden menjauh menuju kumpulan karang. Mulut Kades muda itu komat-kamit dengan debar jantung yang tidak karuan. Semakin dekat ke karang degub jantung semakin kencang. Hari semakin larut suara gemuruh ombak mendominasi malam. Seakan memastikan tekad Raden Mas Kembang Jati tidak main-main. Karang yang tadi di depan mata sepertinya menjauh dan terus menjauh. Kades Kembang Jati mulai panik. Dia memperlambat langkahnya sambil terus berpikir.

"Dari tadi konsentrasimu jelek!"
Sebuah bentakan membuat telinga laki-laki itu berdenging. Raden Mas Sastro Sumitro meremehkan pesan Bu Mirah.

Yang harus kamu utamakan itu konsentrasi, jangan lengah sedikit pun apalagi sampai melamun. Kamu tidak akan bisa pulang. Makanya bungkusan ini kamu bawa, apapun yang terjadi jangan sampai lepas dari gemggamanmu. Dan jangan pernah langkahmu berhenti sebelum melihat goa itu.

Sekarang Kades muda itu baru paham semua ucapan Bu Mirah tidak sembarangan.

Laki-laki muda itu menghela napas sambil terus melangkah. Sekuat tenaga menyingkirkan rasa takut dan berusaha menghalau pikiran aneh-aneh yang muncul mengganggu.

Tampak Bu Mirah menatap langit lalu berpaling ke arah luas lautan dengan wajah cemas. Sosok Kades muda sudah tidak terlihat. Di susul gemuruh ombak yang terdengar lebih keras dan lebih cepat menghempas pantai. Ada sesuatu yang mengganggu pikiran wanita berkain parang kusumo. Desir di hatinya memberi sebuah pertanda. 

"Duduk bersila, Ed. Baca surat yang sudah kamu hafal." Suara Bu Mirah terdengar sangat tegas seperti pimpinan batalyon memerintah pasukannya, Edi langsung melaksanakan perintah itu.

Langit perlahan menggelap beberapa bintang sudah menghilang. Bu Mirah dan Edi sudah memejamkan mata duduk bersila di atas pasir. Malam benar-benar menua dan ombak sudah menenggelamkan pantai seluas empat meter hingga tak terlihat. Pasir yang menjadi alas dua manusia bersila hampir tergerus pecahan ombak.

Sementara di depan sebuah goa di antara tumpukan karang hitam seorang laki-laki terpaku menatap mulut goa setinggi tubuhnya. Pecahan ombak menghantam tubuh tinggi besar itu hingga terhuyung. Raden Mas Sastro Sumitro tersadar dan segera mencari jalan untuk naik ke goa. Beberapa kali langkahnya terpeleset di sela-sela karang membuat goresan di lutut dan pahanya. Darah segar menetes bercampur air laut yang sudah menenggelamkan separuh tubuhnya.

Tiba-tiba sebuah kekuatan yang tidak tahu dari mana datangnya membantu Raden Mas Sastro Sumitro naik ke pintu goa. Dan Bu Mirah di posisinya sudah basah oleh air laut, tetapi terlihat peluh menetes di keningnya.

Kades muda itu kembali tercengang ketika telinganya menangkap suara dentuman seperti langkah kaki yang ukuran kakinya pasti lebih besar dari kaki biasa. Tubuh laki-laki itu terjatuh begitu melihat sosok besar di depannya. Seekor binatang yang tingginya menyentuh atap goa dengan kaki-kaki yang panjang dan dua capit besar di samping mulutnya. Antara sadar dan rasa takut Pak Raden mengenali sosok itu seekor kepiting raksasa yang terdiam berhadapan dengan manusia. Dalam ketakutannya Pak Raden melihat antena di  dekat mata binatang itu bergerak ke kanan dan ke kiri. Sekitar tiga menit mungkin, tapi dirasa manusia itu bagaikan berjam-jam, kemudian perlahan salah satu capitnya mendekat dan mengangkat tubuh laki-laki itu sebelum melemparnya keluar goa.

Entah berapa lama manusia itu tidak sadarkan diri, tetapi yang jelas perlahan tersadar sudah di atas sebuah batu karang yang bentuknya mirip sebuah altar. Badannya terasa sakit di sana sini dan luka di lutut serta di pahanya semakin perih terkena air laut. Setelah laki-laki itu bisa menguasai keadaan tiba-tiba terdengar suara gemuruh gulungan ombak setinggi tiga meter yang jaraknya semakin dekat. Ketika gulungan air setinggi tiga meter berada di depannya tidak pecah membentur karang, tapi berhenti sebatas kepalanya. Tepat di atas kepala. Perlahan gulungan itu turun membentuk seperti meja datar yang di atasnya nampak seorang laki-laki tua mengenakan baju gamis warna putih, dengan sarung kotak-kotak tersampir di pundaknya dan sebuah sorban warna putih bertengger di kepalanya sedang duduk bersila di punggung seekor binatang bersisik dengan moncong panjangnya. Yang membuat Raden Mas Sastro Sumitro tidak dapat bicara saat melihat binatang mirip buaya yang ditunggangi laki-laki tua bersorban itu.

"Assalamualaikum, Nak Mas."

Suara lembut dan terasa sejuk menyentuh telinga Kades muda itu. Dengan gelagapan laki-laki muda menjawab, "Wall--wallaikumsalam, Kakek."

Dua laki-laki saling bersitatap membuat gelenyar di dada laki-laki muda.

Ambisi SesatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang