Bab 18. Petunjuk

14 1 0
                                    

Jantung Raden Mas Sastro Sumitro hampir menjelos keluar. Mereka berdua saling menenangkan diri mendapati kejadian aneh itu. Setelah tenang, Edi mencari laki-laki yang mengangetkan tadi, tapi tidak ada. Di taman tidak ada, di sekitar taman tidak ada, di sekitar mobil parkir juga tidak ada.

Taman itu berada di tengah-tengah empat ruas jalan, tetapi sepanjang mata memandang tidak terlihat orang berjalan kaki mengenakan caping di kepalanya.

"Kita cari ke sana, Ed. Pasti belum jauh."

"Siap."

Mobil meluncur lambat menyusuri setiap cabang jalan simpang empat itu. Namun, tetap nihil. Bahkan orang-orang jualan yang ada di pinggir jalan ditanya tidak melihat. Kalau dipikir dengan nalar laki-laki yang Pak Raden cari seharusnya menarik perhatian. Di zaman serba internet masih ada yang memakai caping dan membawa celurit berjalan kaki. Dan tiga pedagang yang berada di dekat bundaran taman tadi pun tidak melihat ada orang memotong rumput.

"Ndak ada, saya hanya melihat Aden dan Bapak ini."

Pak Raden dan Edi saling tatap. Wajah mereka merona merah. Sepertinya apa yang ada di benak mereka sama.

'Mengapa ini terjadi lagi?'

Seorang tukang parkir menyarankan mereka untuk istirahat dulu sekedar minum air hangat sambil cuci muka. Mobil parkir di dekat sebuah warung kopi yang tidak terlalu ramai.

"Kalau mau cuci muka dan tangan, itu ada masjid, Pak," ujar tukang parkir.

Pak Raden dan Edi melangkah ke masjid yang berjarak sekitar lima puluh meter dari warung kopi. Sebelum kaki melangkah memasuki pelataran masjid Edi mengucap salam yang diikuti Pak Raden di dalam hati.

"Assalamualaikum," ucap Edi.

Keduanya mencari tulisan 'tempat wudu'. Edi langsung berwudu.

"Ed...?" Pak Raden menatap Edi bingung.

"Ndak apa-apa, Pak. Sekalian membersihkan diri. Kita, kan sudah dua jam melakukan perjalanan."  

Keluar dari ruang wudu mereka berpapasan dengan seorang bapak-bapak mengenakan celana sebetis, baju koko putih lengan sesiku dan kopiah putih yang hanya cukup menutup sedikit pucuk kepalanya.

"Assalamualaikum, mau salat duha?"

Pak Raden hanya tersenyum sedangkan Edi tergagap menjawab.

"I-iya."

Bola mata Kades muda itu melotot ke arah Edi.

"Aku tunggu di warung kopi." Pak Raden melangkah panjang-panjang meninggalkan Edi yang masuk ke masjid.

"Temannya salat ya, Pak," sapa tukang parkir.

Pak Raden mengangguk dan duduk di dalam tenda yang tidak menutup warung seluruhnya. Dia pesan dua lalu memberikan yang satu pada tukang parkir tadi.

"Matur nuwun, Pak. Terima kasih."

Tukang parkir membawa gelas kecilnya keluar tenda, tapi dipanggil Kades Kembang Jati.

"Kamu asli sini?" tanya Pak Raden.

"Inggih, iya, Pak. Bapak baru sekali ini ke sini ya," tebak tukang parkir.

Pak Raden mengangguk lalu menyeruput kopinya.

"Kalau orang baru menginjakkan kaki ke daerah sini banyak yang mengalami hal seperti Bapak," lanjut tukang parkir.

"Oh ya?" Pak Raden membalikkan tubuh ke arah tukang parkir.

"Panggil saya Peang, Pak. Kepala saya tidak bulat, tapi agak miring, mungkin dulu dujun bayinya terlalu kuat narik saya jadi peang."

Ambisi SesatWhere stories live. Discover now