18). Realistic Thought

369 91 98
                                    

"Thanks, Vic. Ternyata lo bisa serius juga," puji Hara sembari melempar tatapan jenaka, setidaknya cewek itu sudah merasa lebih baik setelah mendengar hiburan dari Vico.

Senyuman lebar dari Vico menjadi reaksi atas pujiannya. Keduanya telah menghabiskan roti isi dan langkah mereka kini sampai di ujung jalan menuju toko serba ada. Satu kesan baik yang Hara temukan dari Vico adalah sikap gentleman-nya yang menuntun tangan Hara sementara keduanya menyeberang jalan seakan dia jauh lebih dewasa darinya.

Sekali lagi, ini mengingatkan Hara pada kembarannya yang bersikap sebagai kakak yang seharusnya ditunjukkan dalam memberikan perhatian. Meski terkadang hal tersebut memberi kesan berlebihan hingga pamer, mengingat karakter laknatnya lebih mendominasi.

Lagi-lagi seolah-olah tidak ada habisnya, Hara merasa kalau Vico memang lebih cocok menjadi kembaran Gara ketimbang dirinya.

"Selama ini gue berpikir realistis, Ga. Gue menikmati hidup dan nggak mau banyak pikir, jadi kesannya gue nggak pernah serius," jelas Vico setelah keduanya selesai menyeberang jalan, tetapi sepertinya dia belum mau melepas tangannya. "Makanya banyak yang kaget sama sifat asli gue setelah mengenal gue lebih dalem. Gue sedewasa itu juga sih sebenarnya."

"Kenapa gue merasa nggak terima ya?" tanya Hara dengan nada bercanda ketika mereka sampai di depan pintu kaca. Satu tangannya hendak menarik pintu tersebut, tetapi tangan Vico yang bebas telah melakukannya duluan.

"Gue nggak selemah itu sampai nggak bisa narik pintunya loh, Vico. Nggak usah lebay deh. Lagian kalo lo memang mau narik pintunya, kenapa harus pake tangan yang itu? Tangan yang satu ini bisa lo lepas, kan?" protes Hara, memandang tangannya sendiri yang masih betah digenggam oleh Vico. Secara teknis, cowok itu seperti memaksakan tangan lainnya untuk membuka pintu tersebut.

"Tangan lo lebih lembut dari tangan cewek yang gue pegang, Ga. Bikin betah jadinya, muehehehe...." Vico menjawab riang sembari menarik Hara untuk masuk ke dalam toko serba ada, alih-alih melepasnya.

"Kenapa lo jadi kayak Owen yang suka grepe-grepe cowok?" tanya Hara, menarik lepas tangannya sendiri dan mengabaikan ekspresi wajah Vico yang kini kecewa. "Lo mau jadi gay juga?"

"Kalo lo orangnya, gue rela jadi gay," jawab Vico enteng hingga terkesan main-main bagi Hara. "Tapi ada sesuatu yang bikin gue gagal paham. Sebelum lo kecelakaan, kita sering rangkul-rangkulan mesra kok tapi kenapa gue nggak ngerasa getar-getar gimanaaa gitu ya? Beda banget dengan lo yang sekarang setelah kecelakaan. Tiap di dekat lo, gue rasa kayak ada magnet yang bikin gue pengen deket-deket sama lo. Apa dugaan gue bener ya soal arwah cewek yang merasuki lo? Gue jadi suka sama lo juga."

"Nih mulut emang nggak ada akhlak ya, enteng bener ngomongnya tanpa mikir dulu," omel Hara kesal karena gara-gara pengakuan Vico, banyak pengunjung toko yang menatap mereka dengan tatapan mencela seakan mereka sedang melakukan hubungan terlarang. "Lo bukannya jijik atau merasa aneh, tapi lo malah bangga."

"Biarin. Seperti yang gue bilang tadi, gue orangnya realistis, jadi buat apa banyak mikir? Termasuk juga, gue nggak peduli sama pemikiran mereka, itu terserah mereka. Gue yang jalani hidup gue sendiri, nggak perlu dicampuri oleh orang lain."

"Hmm... kalo itu gue setuju."

"Nah kalo setuju, lo harus pegangan tangan sama gue dong," kata Vico sambil menarik sebelah tangan Hara dengan senyum manisnya lagi, berhasil mencairkan perasaan siapa saja yang menatapnya.

Kecuali Hara tentunya.

"Aturan siapa itu?" protes Hara. "Lepasin, kalo kita pegangan gini gimana mau belanja? Kita mesti berpencar supaya cepat selesai."

The Pretty You [END]Where stories live. Discover now