40). Win-win Solution

273 72 77
                                    

"Hara, ada kabar buruk," kata Ariga dengan ekspresi super memprihatinkan.

"Kenapa aku ngerasa dejavu, ya?" tanya Hara, balas menatap pamannya dengan tatapan horor sekaligus menuduh. "Oh iya, waktu itu Paman ngomongnya lewat telepon dan karena itu malah jadinya ngedukung aku berubah jadi Gara!"

Ariga menatap Hara dengan tatapan tidak enak, tetapi pria itu tahu kalau dia tidak mempunyai pilihan. "Maaf, Ra. Tapi kali ini kayaknya lebih rumit dan nggak bisa dihindari deh soalnya--"

"Tunggu, Paman. Kenapa main nyerocos gini? Aku kan perlu persiapan! Setidaknya biarin aku tarik napas dulu, kek."

"Loh bukannya kamu paling benci sama yang bertele-tele?" tanya Ariga gagal paham. "Kalo mau nanti, nggak apa-apa kok. Paman juga nggak buru-buru."

"Loh bukannya tadi Paman bilang topiknya rumit dan nggak bisa dihindari?" gantian Hara gagal paham. "Jelasin sekarang deh," lanjutnya seakan interupsi tadi tidak pernah ada.

Ya sudahlah ya, untung saja Ariga tipikal paman yang cukup sabar menghadapi keponakan barbar dan galak seperti Hara. Oh ya, plus tidak sabaran. "Oke, Ra. Dalam dua hari ini, kita harus pindah."

Kepala Hara lantas menoleh terlalu cepat hingga otot lehernya menegang. "Loh? Kenapa?"

"Paman dipindahtugaskan ke anak perusahaan di Jakarta."

"Mendadak gini?" tanya Hara dan seakan ada alarm dalam kepalanya, dia segera mengerti sumber pelakunya. "Apa ini ide dari bucinnya Paman?"

"Maksud kamu?" tanya Ariga yang rupanya sama sekali tidak curiga.

Hara beranjak dari sofa, lantas melipat kedua lengan di depan dada supaya bisa menatap pamannya lebih mendominasi. "Atau... Paman juga ikut andil? Karena kalo iya, aku akan buat perhitungan sama Paman."

"Ra, kok kamu tega sih nuduh Paman begitu?" tanya Ariga, mulai merasa tidak terima karena Hara berpikir jelek tentangnya. Mana mau kan image-nya sebagai paman penyayang dan selalu sabar ini dinilai seperti itu oleh keponakan tersayang? "Dan apa hubungannya juga sama Joan?"

"Yang aku denger kemaren, atasan Paman itu Kak Joan, kan? Karena Paman bekerja di salah satu perusahaan milik keluarganya," jelas Hara yang masih menatap curiga sekaligus geregetan karena pamannya tidak kunjung mengerti relevansinya. "Kakeknya Owen aja dengan gampangnya masukin nama aku ke SMA Berdikari tanpa hambatan dan hukuman padahal aku ngelakuin penipuan yang risiko terburuknya mungkin didepak dari sekolah, apalagi kasus Paman gini kan? Gampang aja pindahkan Paman ke Jakarta biar aku bisa kembali."

"Ra, kalopun iya, Paman nggak mungkin terlibat dalam hal ini, apalagi sampai mengkhianati kamu," jawab Ariga setelah mendesah napas panjang dan berat. Alih-alih marah karena dituduh, Ariga lebih memilih pasrah di hadapan keponakannya.

Bagaimanapun, Hara baru melewatkan sehari di rumahnya dan sudah terlihat lebih baik meski kadangkala dia ketangkap basah sedang melamun atau menatap kosong ke depan.

Menurut Ariga, Hara malah terlihat seperti sedang mengalami gejala homesick, membuat pria itu sejenak berpikir mungkin saja keputusan untuk kembali ke Jakarta bukan sesuatu yang buruk untuk direalisasikan.

"Oke, aku memilih percaya sama Paman tapi aku nggak percaya sama bucinnya Paman karena ini pasti kerjaannya dia," kata Hara yakin dan dia lantas mengulurkan tangan ke arah Ariga. "Mana ponsel Paman? Aku mau hubungi Kak Joan."

The Pretty You [END]Where stories live. Discover now