MCB||14

8.3K 1K 66
                                    


Flashback on

"Lo ikut gue." Shindy menarik lengan Nafis, dan dia nurut aja.

Shindy membawa Nafis ke belakang sekolah, tepatnya di bawah pohon mangga. Anjim bawah pohon gak elit banget.

Shindy melepaskan cengkeramannya di tangan Nafis.

"Heh! Lo ngapain balik lagi kesini?! Sekarang Rihan temen gue bego!" Ucap Shindy nyolot sambil menunjuk-nunjuk muka Nafis.

Sedangkan yang ditunjuk malah santuy dengan muka datarnya. "Gue juga temen lo." Iya juga sih..

Shindy tak tau mau bicara apa, dia lupa bahwa memang faktanya dia adalah teman Nafis.

Teman seperjuangan sejak dari SMP.

"Maksud gue bukan itu, pertama gue sempet lupa Rihan itu siapa. Ya karena emang tuh anak nolep parah, setelah lo datang di kantin tadi, baru deh gue inget."

"Lo juga lupa sama gue ya?" Tanya Nafis dengan nada kecewa.

Shindy tentu saja tak terima, dia ingat Nafis kok. "Nggak nggak. Bukan begitu, gue masih inget lo kok. Kalo gak inget ngapain gue bawa lo kesini?"

"Gue di luar kota gak ada temen Shin, sumpah." Oke, ini adalah reuni temen lama.

"Ya emang, lo waktu kelas sepuluh aja temennya si Rihan doang. Kalo gue sekelas sama lo waktu itu, pasti temennya gue doang." Waktu kelas sepuluh Shindy sama Nafis beda kelas.

"Gue nyesel waktu itu pernah hampir perkosa dia," ucap Nafis sambil duduk di bawah pohon itu.

Shindy pun ikutan duduk di samping Nafis. "Sekarang lo masih belok?"

"Ngga dong! Gue udah lurus, dan sekarang gue lagi ngejar cewek, sekolah disini pula," ucap Nafis girang.

"Heh! Beneran lo?! Yaampun, seneng banget gue. Tumpengan gak nih?!" Nafis meraup muka Shindy kasar.

"Makanan terosss!!"

"Anjing! Lo gak berubah njir, sama aja kayak dulu." Emangnya Nafis power ranger apa.

"Gak lah, emang lo tambah cerewet."

"Sialan lo. Eh btw, lo sekarang tinggal dimana? Orang tua lo masih di luar negeri?" Ya, dari sejak masuk SMA orang tua Nafis pindah dan menetap di luar negeri, lebih tepatnya di Jepang.

"Ya gitu deh, gue masih tinggal di apartemen. Lo sendiri?"

"Sama. Masih di gubuk yang lama." Shindy senderan di pohon itu sambil menatap langit biru.

"Kapan gue bisa hidup kayak lo? Gue pengen ngerasain jadi orang kaya."

Terkadang Nafis tidak tega melihat sahabatnya seperti ini. Tapi dia bisa apa?

"Shin, denger deh. Terkadang, orang kaya juga belum tentu bahagia, dan orang miskin belum tentu miskin selamanya." Nafis melirik Shindy yang menghela nafas kasar.

"Andai aja ibu sama ayah gue masih hidup, pasti gue bahagia."

Ibu dan ayah Shindy meninggal karena kecelakaan sepeda motor. Waktu itu Shindy yang masih duduk di bangku SMP kelas satu, dan pada saat itulah Nafis datang dan menjadi teman sampai sekarang.

"Hey, gausah melow kek gitu lo. Bukan Shindy banget."

"Iya anjir, bukan gue banget." Shindy menegakkan tubuhnya dan berdiri.

"Mau kemana lo?" Tanya Nafis penasaran.

"Mau ke kelas lah, pasti waktu istirahat udah selesai."

"Besok juga gue sekolah disini." Shindy hanya ber 'oh' aja.

"Gue tunggu lo pulang, mau reuni sama sahabat lama gue." Sambung Nafis kembali.

"Traktir makan ya, gue belum makan dari pagi." Ini jujur loh ya..

"Iya pasti, terserah lo aja." Saking senengnya Shindy dengan refleks  memeluk Nafis erat.

"Makasih ya, lo paling ngertiin deh. Yaudah, sampai nanti." Shindy melenggang dari sana. Sedangkan Nafis membeku di tempat.

Memegangi dada sebelah kirinya yang berdebar saat ini.

Andai lo tau, cewek yang gue kejar itu lo, Shindy.

●●●

Seperti perjanjian waktu istirahat tadi, sekarang Nafis sedang menunggu Shindy keluar dari kelas.

Nafis menunggu di luar gerbang sekolah bersama mobil kesayangannya.

Nah, itu dia. Yang di tunggu udah dateng dan mendekati Nafis.

"Udah nunggu lama?" Tanya Shindy basa-basi.

"Langsung ae dah, gosa basa-basi lo. Giliran mau di kasih makan aja baikin gue njir." Nafis tuh tau, Shindy orangnya langsung to the point gak suka basa-basi.

"Ketauan anjir."

"Yaudah lah gausah bacot lagi, gaskeun!" Sambungnya semangat 45.

"Kuy gaskeun!" Sama gilanya ternyata.

Akhirnya mereka berangkat ke sebuah Restaurant terdekat dari sana. Udah lama juga Nafis gak makan bareng Shindy. Dan Shindy pun baru pertama kali ke tempat seperti ini saat bersama Aska dan Rihan kemarin-kemarin.

Setelah memesan meja dan makanan, mereka pun duduk di dekat jendela yang menghadap langsung ke arah jalan raya.

"Eh, lo dari kapan lurusnya? Perasaan cepet banget. Gue liat di film-film tuh ya, kalo mau pindah jalur suka ribet sama lama juga. Lo kok keliatannya biasa aja?" Tanya Shindy, sebenernya dia tuh penasaran banget dari tadi.

"Pertanyaan lo bikin gue mikir, dan gue gak mau mikir sekarang." Nafis dengan santai mengucapkan itu. Bagaimana bisa ia menjawab pertanyaan Shindy, sedangkan alasannya lurus itu Shindy sendiri.

"Lo gak mau jawab pertanyaan gue?!!!" Ngegas anjir.

"Bangsat lo, gausah teriak napa." Nafis tentu aja malu, banyak orang disini.

"Nih ya, alasan pertama gue itu karena cewek yang lagi gue kejar. Kedua, gue suka dan bahkan cinta sama cewek itu. Ketiga, gue gak suka cowok lagi, karena hanya cewek itu yang ada di pikiran dan hati gue." Sambung Nafis menjawab semua pertanyaan Shindy.

"Jadi intinya, cewek itu alasan lo nggak belok lagi?" Nafis mengangguk dan tersenyum.

"Pertanyaanya, siapa cewek itu?"

"Siapa? Siapa? Lo masa gak kasih tau gue?!" Nafis was-was sendiri.

"Nanti aja deh gue cerita, sekarang kita makan dulu, oke." Nafis berusaha meng-olengkan topik pembicaraan mereka.

Sedangkan Shindy sudah cemberut dari tadi. "Pelit lo, sama sahabat juga. Hukumannya gue mau nambah makanan bodo amat."

Bukannya marah, Nafis justru ketawa ngakak dan mencubit pipi Shindy gemas.

"Terserah lo." Bucin.

Setelah itu mereka makan dengan tenang sesekali bercanda dan bernostalgia.

Flashback off

_________________________________________








Mari kita lupakan pemeran utama.

Ngga deng, nanti Rihan nangis gue yang di tendang Aska.

Makasih yang udah voment

My Cute Boy ✓Место, где живут истории. Откройте их для себя