⭕Extra part 2⭕

369 23 10
                                    

  • Rumah sakit

  "Tarik nafas dalam-dalam, Bu ...!"

  "Huh ...argggggh ...!"

  Gue yang menyaksikan ini membuat junior gue juga ikut merinding. Dari tadi anak gue belum juga muncul, betah amat ya di dalam perut mak-nya.

  "Ayo, Bu, sedikit lagi, tarik nafas ....!"

  "Arggggghhhhh ...!"

  "Auw! Auw!" Rambut gue di cengkram Zeze. Sumpah, ini sakit bener, dah. Tangan kiri gue menghapuskan keringatnya, yang herannya, itu keringat ngapa muncul mulu. Sedangkan tangan kanan gue buat mengelus rambutnya, lihat, gue berwibawa sekali bukan?

  "Bu, ikuti instruksi saya, ya, tarik nafas ....!"

  "Haaaaahhhhhh, sakit, Dok ...!"

  "Dok, kok tarik nafas terus?!" tanya gue sumpek ketika dokter Ida memberi instruksi itu melulu.

  "Ya, jadi gini, Pak, tarik nafas itu berguna untuk membantu melancarkan proses persalinan. Biasanya pa--"

  "Woi i-ini mau br-brojol ma-masih aja ad-u argu-men. Pu-punya la-laki ng-gak a-da o-otak!"

  "Teruskan, Dok," ujar gue mempersilahkan, duh, jadi malu sendiri.

  "Oke, Bu, ini sedikit lagi debay-nya mau keluar! Ayo, Bu semangat, tarik nafas ....hembuskan ...!"

  Tangan gue bergetar hebat melihat bini mau brojol ini membuat gue ngeri sendiri, untung gue laki.

  "AAAAA MATE KUDASAI ...!"

  Bersamaan dengan teriakan bini. Gue juga ikut berteriak, bukannya apa. Ini masalahnya pentil gue jadi sasarannya.

  "AAAA SAKIT ....! YAMATE KUDASAI ...!"

  "Arggggggggg ...!"

  "Lho, kok, si bapak ikut teriak juga? Ini bukan ajang kompetisi."

  Ini dokter separuh otaknya di mana ya? Nggak liat apa pentil gue di cengkram bini sendiri.

  "Sudah, Dok, cepetan itu keluarkan makhluk hidupnya!"

  'Plak!

  Pipi gue di tampar Zeze. Kebetulan ada kaca di situ, gue melirik pipi yang sudah merah padam habis kena ultrasonic.

  "I-ini a-anakmu, ma-malah di-di ka-katain be-begitu!"

  "Lho, sayang emang bener itu makhluk hidup, kalau makhluk mati berarti nggak hidup, dong."

  'Plak!

  "Sudah, Pak, Bu, ini kapan mau ngelahirinnya?! Kalau begini saya mau pergi aja, mau nyalon."

  Ketika dokter Ida mau nyosor pergi aja, gue langsung menahan tangan beliau. Di saat beliau menatap mata gue, dengan gaya sok fakboy gue ngedipin sebelah mata.

  "Eh, i-iya."

  Tuh, ampuh sekali bukan? Gue tau kok, mana ada yang nggak luluh sama kedipan ajaib ini.

  "Oke, Bu ini tiga rius, ya. Ayo, Bu yang kuat!"

   "Hegh ...hegh ...hah ...hah ...sa-saya ng-nggak ku-at Do-k, i-ni, sa-kit ba-banget ...!"

  Melihat kondisi menegangkan seperti ini, perasaan gue tidak bisa tenang. Apalagi ini taruhannya nyawa, mana ada dua bayi yang harus dikeluarkan. Sampai-sampai, tanpa gue sadari, ini air mata pada meluruh. Tidak menyangka perjuangannya akan seperti ini. Sungguh, gue sebenarnya tidak tega melihat istri sendiri menjerit kesakitan, menahan kontraksi beberapa jam. Hingga pada puncaknya, dia mengeluarkan seluruh tenaganya buat buah hati kami tercinta.

Diary Remaja [End]✓Where stories live. Discover now