19 - Hold The Grudge

8.8K 1.9K 107
                                    

Astrid menolak permintaan Pra untuk berbicara di luar rumah agar mereka lebih leluasa. "Ngapain harus keluar? Agar kamu bisa mengintimidasi aku?" bantahnya keras kepala.

"Kamu takut aku intimidasi?" tanya Pra dengan heran. "Emang kamu mau berpendapat seperti apa sehingga mengharap reaksi seekstrem itu dariku?"

"Pra..."

"Tolong jangan ikut campur, Om!" potong Pra ketika ayah Astrid menyela. Dia yang biasanya kalem, kini terlihat keras tak mau kompromi. Dia menoleh kembali pada Astrid. "Kalau kamu setakut itu untuk bicara di luar, sekarang kamu cari tempat di rumah ini, yang terjamin bebas dari segala campur tangan siapa pun. Bisa?" pintanya.

Dengan penuh kemarahan Astrid meminta Pra untuk mengikutinya ke ruang belakang. Pra heran kenapa Astrid berlagak sok begini, seolah dia memiliki alasan untuk sombong. Seolah Pra akan menuruti semua kemauannya hanya demi tetap bersama dia. Come on! Be realistic, woman!

"Apa maumu?" tantang Astrid. Suasana taman belakang yang sepi dengan lampu bersinar suram membuat keseriusan mereka semakin terasa.

"Agar kamu mempertimbangkan kembali keputusanmu untuk tetap berada di rumah ini setelah kita menikah nanti. Rumah tangga kita nggak akan berkembang dengan baik, Astrid. Selama kita masih berada di bawah lindungan orang tua," kata Pra.

Bagi pria ini, rasanya seperti deja vu ketika dia melakukan hal yang sama, susah payah mendorong kedua adiknya agar hidup mandiri terpisah dengan ibunya. Dengan alasan yang tidak jauh beda.

"Jadi kamu menuduh orang tuaku sejelek itu? Bahwa meraka akan memberi pengaruh buruk pada rumah tangga kita?" Astrid meradang.

Pra menghela napas panjang. "Bisa nggak sih kamu mikir pakai akal sehat, nggak asal ngegas, nggak asal emosi, dan jatuhnya buruk sangka melulu?" balas Pra mulai kasar. "Mana kecerdasan yang selama ini kamu banggakan, kalau kamu tidak bisa menangkap esensi dari topik ini, ha? Kamu juga nggak bijak dalam menyikapi perbedaan."

"Kamu ya... Berani-beraninya menghakimi aku!"

"Aku nggak menghakimi. Aku menyimpulkan karaktermu dari semua tindakan yang sudah kamu lakukan," Pra tidak mau menyerah.

"Yakin kalau kesimpulanmu itu obyektif?" ejek Astrid. "Kamu sungguh sangat mengecewakan. Tak kusangka kamu pun ternyata sama seperti yang lainnya. Mudah terpengaruh omongan orang!"

Ingat, Pra. Astrid bukan jenis orang yang akan meloloskanmu dengan mudah! Peringatan Eki kembali berdenting di telinganya.

"Kamu pasti sedang menilai aku berdasar gosip orang-orang dengki di kantor, kan? Yang suka ngomongin aku secara negatif di belakang. Kamu pikir aku takut? Asal kamu tahu, Pra. Mereka hanya bisa ngomongin di belakang doang, nggak bakal bisa berbuat apa-apa, karena universitas nggak bakal pecat aku. Posisiku kuat, tahu?" Astrid menatap Pra dengan ekspresi menantang. "Dan akan semakin kuat setelah ini."

Pra mengawasi perempuan itu dan pikirannya mulai menelusuri ke mana arah pembicaraan dan kesombongan Astrid ini akan bermuara.

"Apakah kamu menerimaku sebagai calon suami karena posisiku aku juga memiliki koneksi bagus di kampus?" tanya Pra berhati-hati. "Karena meskipun ayahku sudah meninggal, masih ada omku yang menduduki jabatan tinggi di rektorat, dan calon kuat untuk kandidat rektor berikutnya? Itu alasannya?" Pra menyebut pada adik ayahnya.

Saat menyampaikan pertanyaan itu, sebenarnya Pra sangat kecewa dan sungguh terluka. Baik harga diri maupun perasaannya. "Kenapa sulit sekali bagimu untuk beritikad baik demi kebaikan bersama, Astrid? Bagaimana bisa kita mencapai kata sepakat kalau kamu hanya mau menang sendiri begini? Apa sih yang kita punya dari hubungan ini? Selain sebuah perkiraan tanggal pernikahan, tanpa ikatan emosi sama sekali."

Marry Me Marry Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang