19

19.5K 3.7K 585
                                    

Tangan kanannya yang patah tidak membuat Sky terus tidur-tiduran di atas brankar. Hari kedua ia berada di rumah sakit sudah digunakan untuk jalan-jalan keluar, menghirup udara segar.

Haris masih ia tugaskan untuk mengawasi pekerjaan dan melaporkan semua tanpa kecuali. Sedangkan ia lebih sering ditemani Aga di pagi hari.

"Kau sudah urus semuanya?" tanya Sky saat menikmati paginya di sebuah taman bersama Aga. Karena belum sehat betul, ia masih harus duduk di atas kursi roda.

"Ya."

"Berapa tahun kira-kira aku akan dipenjara?"

"Kau tahu papamu nggak akan biarin hal itu terjadi."

"Aku menghilangkan nyawa orang dan kau pikir aku bisa berkeliaran tanpa beban sosial dari masyarakat?"

"Papa dan Mamamu nggak akan tinggal diam, Sky."

"Mereka harus memikirkan perasaan keluarga korban juga."

"Pak Langit sudah memasukkan mereka ke daftar penerima bantuan yayasan Actmedia."

"Kalau kau jadi aku, apa yang akan kau lakukan?"

Aga diam sejenak. "Aku akan menerima hukuman yang seharusnya."

"Aku pun sama."

"Tapi orang tua kita nggak akan biarin hal itu terjadi."

Sky mengangguk samar. Dia tidak bisa mengelak jika uang dan kekuasaan bisa bekerja lebih.

"Aku harus segera datang dan meminta maaf pada keluarga korban."

"Kau bisa kesana kalau sudah sehat. Nggak usah buru-buru, Papa dan Mamamu sudah langsung datang untuk berbelasungkawa."

Sky sedikit kaget. "Oh ya?"

Aga mengangguk. "Mungkin karena keluarga korban termasuk orang dekat Pak Zain, jadi Pak Langit dan Bu Senja merasa harus datang ke sana langsung."

"Pak Zain?" ulang Sky

"Ternyata, sopir angkot itu suami dari almarhum asisten rumah tangga yang sudah bekerja lama dengan Pak Zain. Kata Haris, kau kenal dengan anak pertamanya. Dia pegawai di toko roti Salju."

"Lissil!" pekik Sky pelan. Ia mengernyit. Entah, rasa bersalah dan dukanya tidak terlalu dalam seperti sebelumnya. "Jadi, dia ayah tiri Lissil?"

Aga kembali mengangguk dan Sky tersenyum masam.

"Kau menertawakan sebuah nyawa yang hilang, Sky?" selidik Aga terlihat tidak terima.

"Bukan. Aku hanya menertawakan wanita itu," jawab Sky dan membuat Aga semakin penasaran. "Aku yakin, wanita itu senang dengan kepergian ayah tirinya."

"Kali ini kau keterlaluan Sky. Kau nggak tahu sedalam apa luka orang dan kau menertawakannya."

"Kata Salju, ayah tirinya hanya benalu buat Lissil dan adiknya."

"Kau belum lihat secara langsung keadaannya."

Sky menatap pria berparas tegas itu keheranan.

"Dia benar-benar berduka setelah kehilangan ayahnya."

"Oh, ya?" Giliran Sky yang dibuat penasaran.

"Kau bisa tanyakan pada kedua orangtuamu, betapa terpuruknya dia saat tahu ayahnya meninggal."

Sky diam. Bibirnya terkatup rapat dengan pikiran yang terus menganalisa.

Sayangnya, percakapan antara dia Aga tidak bisa terlalu panjang lagi karena pria itu harus pergi bekerja. Aga mengantarnya kembali ke kamar. Sudah ada Mama dan Sora di sana. Sebuah kotak kue dan sebuah termos stainless kecil di atas meja di atas meja.

Sanskara Sky [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora