32. Meresahkan

227 47 6
                                    

Happy reading, and hope u enjoy!

***

     BERBEDA pula di kediaman rumah Andy. Hanya dentingan sendok dan garpu saja yang menjadi teman hening antar tiga orang yang sedang sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Diana yang masih tidak terima anaknya pergi bersama seorang pria. Sedangkan Andy yang berpikir susah payah bagaimana caranya ia bisa membujuk istrinya. Sementara Nia yang tidak tahu apa-apa berpikir keras sebenarnya apa yang terjadi antar suami istri itu.

Semenjak Nia datang ke dapur—berniat ingin membantu Diana memasak—sudah disodorkan dengan wajah muram dan jengkel dari Diana. Bahkan dirinya takut untuk mengajak bicara, sekadar mengucapkan selamat pagi pun ia urungkan.

Pada akhirnya keheningan di kegiatan sarapan pun terpecah dengan dehaman keras dari Andy. Wajahnya yang mula sedikit menunduk ia angkat guna bisa memandang istrinya yang tepat berada di depannya.

Sebelum berbicara, ia menaruh sendok dan garpu terlebih dahulu. “Diana,” panggilnya dengan aksen terkesan berat.

Diana jelas sekali dengar. Namun, ia sengaja tetap melanjutkan makannya dengan wajah yang kini ditundukkan. Seakan tak sudi untuk menatap wajah suaminya.

Walaupun begitu Andy tak menyerah. Digenggamnya tangan Diana yang menganggur di atas meja. Tampak Diana sedikit tersentak lantaran ia menghentikan gerakannya yang hendak menyendokan satu suapan dalam mulutnya.

“Kamu harus dengarin dulu penjelasanku. Ada sesuatu yang selama ini belum aku ceritakan sama kamu. Dan, sepertinya aku harus segera memberitahukan semua tentang anak kita. Liana,” jelasnya gamblang dan tenang.

Namun, alih-alih ketenangan yang Andy tuturkan, justru Nia merasakan hawa sekitar terasa mencekam. Entah kenapa dia merasa akan ada satu hal yang akan terjadi. Mungkin seperti ... amarah Diana yang akan meluap.

Ya, sepertinya sebentar lagi amarah Diana akan meledak. Lihat saja, kini wajahnya tampak memerah, ditambah lagi dengan mata yang membesar seakan ingin keluar, itu tandanya ia telah murka.

Ah, rasanya Nia ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini. Siapa pun tolong lepasin gue dari sini! batinnya berteriak memohon.

Biarpun begitu, ia tetap harus menghabiskan terlebih dahulu sarapannya. Kini pun ia melahap satu sendok nasi dengan porsi yang menggunung, hingga mulutnya terpaksa harus melahap semua itu agar lekas pulang.

Diana menurunkan tangannya yang menggantung, berasamaan menarik tangannya dari genggaman Andy dengan kasar. “Kamu tahu?!—”

Baru saja Diana ingin membuka mulutnya untuk melanjutkan bicara, ujuk-ujuk Nia menyela dengan mengangkat satu tangan sambil tersenyum kaku yang membuat dirinya jadi perhatian Andy dan Diana.

“M-maaf Tan, Om, Nia baru ingat kalau bunda tadi telepon suruh pulang cepat,” Gadis itu menjeda sesaat, “nah, karena Nia udah selesai makan, jadi Nia mau izin pulang,” imbuhnya tak enak hati. Kebetulan sekali pagi ini perutnya itu tidak manja seperti—biasa yang selalu menerima makanan harus dimasukkan secara perlahan—bak perut limited.

Andy membalasnya dengan senyum yang tak kalah kakunya. “Oh, begitu. Ya, sudah, kamu boleh pulang. Maaf untuk kejadian hari ini, ya, Nia.”

Nia menggeleng, keberatan. “Enggak om, nggak apa-apa kok. Omong-omong makasih, ya, om, bun, sarapannya.” Andy membalasnya dengan anggukan dan senyuman. “Kalau gitu, Nia permisi.” Gadis itu tersenyum canggung seraya bangkit dari duduknya.

Berjalan dengan langkah cepat menaiki tangga untuk mengambil sweeter dan ponselnya yang masih berada di kamar Liana.

Pada akhirnya pun ia bisa menghirup udara segar dari luar. Tak menyangka jika dirinya akan seberani itu. Entah kenapa ada perasaan bangga dalam dirinya.

Takdir Yang Tertulis [End]Where stories live. Discover now