41. Kegatelan

200 48 10
                                    

Happy reading, and hope u enjoy!

***

     NASWA membereskan kamarnya yang berserakan. Ulah dari kedua lelaki yang menjadikan kamarnya sebagai ring tinju dadakan telah membuatnya kesal tiada tara.

Kalau saja mereka menyewa terlebih dahulu padanya, maka sudah dipastikan dia akan segera mengosongkan kamar itu lalu lebih memilih menginap di hotel saja, daripada harus menyaksikan adu jotos mereka, begitu pikirnya.

Misuh-misuh Naswa mengambil pakaian yang sebelumnya terlipat rapi di lemari, kini bisa-bisanya sudah berada di atas lemari, bahkan setiap sudut kamar sudah terhiasi oleh celana dalam serta kacamata besar berbagai macam warna.

Sementara itu, kedua pelakunya sedang melakukan perbincangan tegang di ruang tamu. Hawa mencekam pun menyelimuti mereka dalam ruangan setapak itu.

Masih dengan wajah yang penuh dengan lebam. Mereka saling menatap penuh dendam dan bungkam. Seakan-akan dalam bisu, mereka dapat bercengkrama perdebatan yang seru. Kalau boleh tambah satu orang, maka master Limbad akan ikut nimbrung dengan mereka.

Karena Naswa tidak mendengar satu kata pun keluar dari mulut mereka, lantas ia melongok dari bilik pintu, melihat keadaan.

Ditatapnya bergantian antara Niko dan Rakha. “Lah, kok pada diem? Kenapa? Capek habis berantem, jadi kalian hibernasi dulu, ya?” ledek Naswa yang langsung mendapatkan pelototan dari kedua pria itu.

Naswa kicep. Memilih untuk kembali melakukan kegiatannya daripada harus jadi samsak tinju mereka. Cukup kamarnya saja yang jadi ring tinju, tubuhnya tak boleh ikut-ikutan.

Hilangnya Naswa dari pintu, tatapan Niko beralih pada Rakha. Musuhnya yang paling ia benci. Namun sayang, musuhnya telah mengalahkannya bahkan sebelum ia memulai. “Jelasin apa yang mau lu jelasin,” ungkap Niko to the point.

Lepas dari pertanyaan Niko, Rakha menusuk pria itu dengan tatapan mautnya. Kalau saja ia bisa memiliki kekuatan selain berpindah tempat. Mungkin dia akan memilih untuk memiliki tatapan mematikan yang bisa langsung membunuh orang melalui tatapan tajamnya. “Gue yang seharusnya minta penjelasan dari lu,” balas Rakha tak kalah sengit.

“Ya, gue dong seharusnya! Lu tiba-tiba datang main nonjok muka gue yang nggak tahu apa-apa. Udah gila kali lu.” Niko masih saja bersikeras ngegas.

Niko sangat yakin sudah tidak lagi berurusan dengan hubungan mereka. Ia tidak lagi melakukan apa-apa, itu saja. Tetapi dengan seenak jidatnya Rakha main bonyokin muka dia yang mulus itu. Niko merasa terzalimi di sini.

“Liana menghilang. Udah lima hari dia belum ketemu, dan gue yakin, lu yang nyulik dia,” tuding Rakha yakin dengan ekspresi dingin.

Niko yang semula naik pitam, ketika mendengar Liana menghilang ekspresinya pun langsung berubah seratus delapan puluh derajat terkejut dan penasaran. “Hilang? Maksud lu Liana diculik gitu?”

“Lu nggak usah pura-pura. Gue tahu lu cuma akting.”

Niko mendengus sinis. “Gue aja baru tahu dari lu kalau Liana hilang.”

Rakha berpikir sesaat. Menimbang-nimbang sesuatu. Sambil berpikir, ia menatap dalam kedua netra Niko berniat mencari-cari kebohongan melalui dalam sana.

Sementara Niko yang ditatap membalasnya dengan intens.

“Oh, ayolah … gue memang waktu itu pernah salah. Tapi nggak selamanya setiap ada kejadian buruk, gue yang jadi pelakunya. Gue juga udah sadar, Man.

Rakha seketika menyeringai bengis setelah mendengar penuturan Niko yang menggelikan baginya. “Tobat lu?” sinis Rakha.

“Ya-ya, terserah lu. Tapi si Liana beneran hilang? Gimana ceritanya kok lu bisa sampai kehilangan dia?” Niko kembali ke topik awal yang membuatnya penasaran.

Takdir Yang Tertulis [End]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt