Bab 11

7.8K 840 31
                                    

Seina berdiri menatap cermin, mengamati tubuhnya. Manik bulat itu menatap sayu diri sendiri seolah memberi kekuatan. Lama melamun tak terasa air mata ikut andil keluar. Awalnya hanya setetes kini berubah menjadi hujan deras. Seina menangis tanpa suara, dibiarkannya air mata itu keluar tanpa dihalangi dan di hapusnya. Biarkan cermin toilet kafe ini menjadi saksi hancur dirinya.

Usai menyaksikan dua insan yang membuatnya kacau tadi, ia langsung berbalik menuju toilet, tanpa berniat menghampiri. Padahal semua makian ingin ia lontarkan. Cukup ia dan Tuhan yang tahu keadaannya saat ini, jangan orang lain apalagi keluarga.

Setelah puas menumpahkan keluh kesah kepada benda mati itu, dihapusnya sisa air mata yang masih menempel. Dibenahinya pakaian yang berantakan. Di liriknya jam tangan yang menempel pada pergelangan kiri. Seolah sadar ia telah meninggalkan forum bersama yang dosen secara sepihak. Berbalik ia menuju tempat semula.

Ketika berjalan menuju meja sambil menunduk. Ditariknya kursi tempat semula, diseruputnya minuman yang tinggal separo hingga tandas. Kegiatan tersebut tidak luput dari pandangan ketiga lelaki di depannya.
Dengan raut heran. Sang dosen terus menatap Seina tanpa mengalihkan pandangan barang sedikitpun. Ia tak menghakimi dan menanyakan, ia telah melihat wanita tangguh di depannya itu hancur. Ia!! Lelaki itu yang menyaksikan kehancuran Seina. Ia juga yang memberi alibi kepada kedua mahasiswa nya ketika menanyakan mengapa Seina lama di toilet. Mengapa ia rela berbohong demi orang yang selalu membuatnya naik darah??
Ia pun tidak tahu dengan dirinya sendiri.

"Urusan dengan temannya sudah sein?" Kahfi membuka suara.

"Ehhh?" Ucapan Kahfi membuat Seina bingung, ditatapnya Samurey yang terus menatap, seolah mengerti kode sang dosen, ia pun mengangguk mengiyakan.

"Pak saya boleh izin pulang duluan? mendadak ada urusan penting." Seina bertanya sambil membereskan barang.

Samurey tersenyum tipis, tipis sekali mungkin hanya dirinya yang sadar jika ia tersenyum. Ia mengangguk tanda memberi izin.

Seina mengambil tas, lalu disampirkan ke punggung, "Maaf pak jadi enggak bisa sampai selesai." Ucapnya merasa bersalah.

Lalu ia berdiri membungkuk kecil tanda memberi hormat, "Duluan Pak, Kakk."

"Yoii Sein, hati-hati." Rayyan menyahuti, pandangannya masih mengikuti kepergian Seina dengan tanda tanya, tapi ia tak ingin ikut pusing memikirkan.

"Nanti kita kabarin kalo ada informasi tambahan." Kahfi berucap santai seperti tak merasakan aura berbeda Seina.

Seina tersenyum mengganguk lalu beranjak pergi meninggalkan kafe itu.

••••

"Kita akhiri sampai sini saja pertemuan kali ini."

"Hahh??" Rayyan menatap wajah sang dosen bingung, pasalnya mereka sedang membahas hal penting, dan ini baru berapa menit setelah kepergian Seina.

"Ia ini sudah larut, kalian perlu istirahat juga." Samurey membereskan buku, lalu mengeluarkan uang dari dompet, "Ini tolong kalian bayarkan makanan kita." Di serahkan nya enam lembar uang berwarna merah itu.

"Ini enggak kebanyakan Pak?" Kahfi menghitung lembaran uang.

"Tidak, lihat pesanan kalian." Tunjuknya kepada piring kosong di atas meja, "Jika ada kembalian ambilah untuk kalian berdua."

"Yeee." Rayyan bersorak bahagia, menggerak-gerakkan tangan seperti anak kecil.

Samurey beranjak, tergesa-gesa keluar kafe. Diedarkannya pandangan mencari seseorang. Perasaannya tak tenang.

"Mana dia? Apakah sudah pergi?".

Kepalanya berhenti ketika manik matanya menangkap sosok perempuan yang sedang berjongkok di trotoar. Kepalanya menunduk dibenamkan pada lipatan kedua kaki yang di tekuk. Jujur hati Samurey ikut sakit melihatnya. Mungkin ini rasa empati kepada sesama manusia elaknya.

"Seina." Ucap nya lembut, seingatnya baru kali ini ia berbicara lembut kepada lawan bicaranya itu, biasanya hanya adu argumen yang mereka lakukan, namun Samurey lebih suka melihat Seina marah dengan sorot bulat itu menatapnya tajam, dibandingkan melihat dengan sorot mata kecewa dan putus asa.

Seina mendongakkan kepala, terkejut di depannya sosok dosen galak, kini berubah menjadi lembut. Di usapnya mata dan dibenarkan letak jilbab, "Pak Samu?" Ia meringis malu.

"Mari saya antar pulang."

Ia berdiri membenarkan pakaian, lalu menggeleng, "Enggak usah Pak." Tolaknya tak enak.

"Saya tidak menerima penolakan Seina, tidak baik kamu pulang sendiri dengan keadaan...." Matanya memicing menatap penampilan Seina.

"Saya bawa motor Pak." Potong Seina.

"Itu masalah gampang, nanti saya suruh Rayyan atau Kahfi mengantarkan."

Seina tak ada tenaga berdebat, ia mengganguk, ia pun tak yakin sanggup mengendarai motor sendiri.

Seina mengikuti Samurey menuju mobil, ia bingung duduk dimana, ingin duduk di belakang namun tak enak, duduk di depan takut canggung. Samurey yang melihat keraguan Seina, "Di belakang tidak apa Sein."

Seina menatap Samurey ragu yang di bales anggukan oleh Samurey.

••••

Keadaan mobil hening tak ada yang bicara. Seina yang terdiam menatap ke jendela, bayang-bayang kejadian di kafe tadi masih terbayang. Air mata itu kembali ingin keluar, dengan sekuat tenaga di tahannya, tidak ingin terlihat lemah di depan sang dosen, bukankah dia musuhnya kan? Sibuk dengan dunia sendiri hingga tak menyadari perubahan sikap sang dosen. Di kursi pengemudi Samurey sibuk memperhatikan Seina dari kaca. Ia sudah merasa seperti supir saja, namun tak apa, mahasiswi ya g biasa melawannya itu kini terlihat lemah, sedang tidak baik. Tindakan gue ini wajar kan? Karena peduli terhadap mahasiswi sendiri, empati sesama manusia. Batinnya

"Sudah lebih baik?"

Seina menoleh ke arah Samurey "saya baik-baik aja Pak, saya tidak apa-apa." Seina masih berusaha mengelak, padahal penampilan dirinya tak bisa membohongi.

Samurey tersenyum sekilas mendengar nya, "Saya tahu Seina, saya melihat tidak perlu mengelak, dan berusaha tegar."

"Ingin cerita?" Samurey sempat terkejut dengan ucapannya sendiri. Sejak kapan ia dengan suka rela menawarkan menjadi tampungan curhat seseorang. Bahkan Putra sang sahabat selalu ia marahi ketika sibuk curhat dengannya.

Seina tak menjawab, melainkan bertanya balik, "Bapak kenapa membantu saya? Suka rela mengantarkan?".

"Ini tidak suka rela, saya butuh imbalan." Samurey berucap tenang, tanganya sibuk menggerak setir, sekali-kali melihat sekitar dan menanyakan apakah jalannya sudah benar menuju rumah Seina.

Seina mendelik kesal, perlahan ingatan tentang kejadian tadi menghilang, "Yaudah kalo enggak ikhlas saya turun disini saja." Ia sudah kembali ke mode Seina yang garang.

Tak terlihat Samurey tersenyum tipis, kini ia berhasil mengalihkan perasaan Seina. Seina garang nya sudah kembali.

"Imbalan saya tidak sulit."
Ucapnya sambil menatap intens Seina melalu kaca. "Cukup menjadi orang kuat, lupakan apapun masalah kamu, fokus dengan penelitian kita, saya tidak ingin ya kita tidak maksimal karena kamu tidak fokus." Samurey berniat menenangkan, namun ujung-ujungnya kalimat pedas ditambahkan. Jujur kalimat akhir itu tidak di rencanakan, Samurey merutuki mulut nya sendiri.

Seina mencebikkan bibir, bibir bawahnya maju beberap senti, "Baik Pak, saya tidak akan menyangkut pautkan masalah saya dengan urusan kampus, saya janji." Ucapnya lemah.

Perasaan tak enak menghampiri Samurey, berniat menenangkan malah menambah beban, mulutnya malah terkunci bukan menjelaskan.

•••••

Vote dan comment jika kalian menyukai cerita ini:))

Sangat menerima kritik dan saran ya heheh:)
Terimakasih ❤️

Stupid I Love You (End) Where stories live. Discover now