1

9 0 0
                                    

Seperti biasa hari Minggu adalah hari yang paling aku tunggu. Bangun sejak adzan subuh, lalu sisanya digunakan untuk menikmati hembusan angin di atap rumah yang menyejukan. Aku tak pernah melakukan banyak hal di atas atap rumah ini selain memeluk lutut sembari menatap atap-atap rumah tetangga yang tak sejajar. Membosankan memang tapi semua itu membuatku tenang.

Hingga akhirnya aku harus pergi dari sana karena sebuah nada dering yang terdengar tak asing. Bukan, itu bukanlah sebuah nada dering telepon melainkan sebuah nada alarm. Dan tentu saja salah jika kalian berpikir itu adalah alarm bangun pagi. Sungguh, jangan menduga-duga terlebih dahulu.

Nada dering itu adalah alarm yang mengingatkanku bahwa sepuluh menit lagi acara inti dari hari minggu akan dilakukan. Dan aku harus mencukupkan waktu sepuluh menit itu untuk mengganti baju, memakai kaos kaki, memakai sepatu dan tak lupa menguncir rambut. Ya, aku akan pergi berlari. Dan tentu saja bukan sembarang lari seperti pada umumnya.

Baru saja melangkah keluar dari pekarangan rumah, seseorang telah berdiri tegap di sebrang jalan dengan senyum menyeringai. Aku memutar bola mata malas ketika menyadari arti senyuman itu. Seseorang yang berada di sebrang jalan itu adalah temanku sejak kecil. Leo namanya. Lelaki yang lumayan pintar karena terus-terusan juara umum dari kelas 1 SD sampai kelas 12 SMA Semester 1. Menyebalkan sekali jika berbicara tentang kepintaran Leo ini. Baiklah tentang Leo aku cukupkan disini

Kemarin malam, Leo tiba-tiba menggedor pintuku tanpa ampun. Mungkin karena dia tahu tak ada siapapun di rumah ini selain aku dan Bi Titi dia jadi berlaku seenaknya, tapi itu sudah biasa. Aku yang saat itu sedang berada di ruang TV langsung berlari ke daun pintu dan menguncinya segera. Leo tidak boleh masuk. Kataku dalam hati

"Kamu sedang menyalin PR yang ku kirim lewat email bukan?" Tentu saja dia akan bertanya demikian, makannya aku mengunci pintu

"Ya.." ucapku meyakinkan. Padahal aku baru membuka emailnya tadi sore. Hanya membuka tidak sampai ke tahap menyalinnya

"Pasti ada soal yang kamu gak ngerti. Aku ajarin ya!"

"Eh jangan! Aku bisa semua kok. Serius!" Aku semakin mendekatkan telinga ke daun pintu, menunggu jawaban dia selanjutnya. Namun sejenak aku berpikir, dia itu pemaksa. Baiklah aku harus atur strategi.

"Apa bi? Iya itu buku aku jangan diberesin mau lanjut nulis nih. Oke Leo, aku ngerjain tugas dulu ya. Dah!" Alibiku akhirnya. Yaampun, aku merasa sangat pintar saat ini

"Tt-tapi... LARA!"

"Ra aku mau nantangin kamu! Besok kalau kamu terlambat keluar gerbang dan keduluan aku, itu artinya kamu harus jenguk mama kamu. Nanti ku temani"

Mendengar Leo mengucapkan itu seketika membuatku muak. Aku tidak suka ketika seseorang menyuruhku berlaku baik pada wanita yang harusnya ku sebut 'ibu'. Padahal aku bukan anak kecil lagi, aku tahu harus berbuat baik untuk siapa.

Aku tak mempedulikan keberadaan Leo dan memilih untuk mulai berjalan dengan tempo yang sedang. Seperti dugaan, dia langsung menyenyajarkan langkahnya disampingku dan terus saja menatapku. Risih sekali. Aku tetap memasang wajah datar dengan tatapan tetap berfokus ke depan. Kami akhirnya berlari tanpa mengeluarkan sepatah pun kata, kami yang biasanya membicarakan banyak hal sepanjang perjalanan kini saling diam. Aku sudah mulai mempercepat tempo langkah kaki dan Leo semakin jauh tertinggal di belakang. Aku tidak peduli

Aku berhenti sejenak untuk istirahat dan memgatur nafas, kurasa aku sudah berjalan cukup jauh. Ketika aku melihat ke belakang, bayangan Leo tak terlihat. Dia tidak ada dimana-mana. Lima menit berlalu, Leo tak kunjung datang. Kemana dia?

LARAWhere stories live. Discover now