Part 1: Baru

19 7 29
                                    

Dena: Rindu Aan
~~~~~~~~~~~~~~

"Bagi sebagian orang—hal baru selalu memikat, kekepoan mendarah daging, pun sebab sinar dari dalam."
~Dena~

"Kamu tahu siapa dia? Ya Allah ganteng banget!"

"Masa kamu gak tahu, sih! Dia Ardho, perwakilan sekolah kita yang diundang ke acara televisi swasta. Acara nyanyi-nyanyi gitu, lupa!"

"Ya Allah, serius! Kok aku baru tempe ya?" pikir Dena mendongak ke langit sembari memegang pundak temannya.

"Kamu kan masak tahu goreng, jadi gak tempe!" gerutu temannya dengan penekanan diakhir kata.

"Kapan?" tanya Dena dengan polosnya.

"Delapan bulan yang lalu Dena comel...tepatnya akhir semester lalu. Astaghfirullah! Kamu kan nemenin Rindu berobat, jadi gak tahu kalau ada anak pindahan, lagi pula setelah itu dia sibuk karena kegiatan bernyanyi dan bermain musik di event-event tertentu. Jadi kamu mungkin baru lihat." Teman Dena berdecak sebal, ia berusaha sabar menghadapi sikap polos Dena.

Mata Dena membulat sempurna, ia baru ingat, semester lalu ia dan sahabatnya menemani Rindu berobat. Penyakit asma Rindu kambuh dan semakin parah. Untung saja sekarang mulai pulih. Rindu harus istirahat dan dilarang melakukan aktivitas yang membuatnya cepat lelah.

Rindu dan sahabatnya sebut saja Aan, sudah seperti keluarga sendiri. Selalu ada menemani kala suka dan duka. Selalu ada bahagia dan sedih bersama.

Pertunjukan pentas musik oleh Ardho dan band-nya sudah selesai. Dena baru menyadari karena ia melamun bermenit-menit. "Hah, udah selesai?" kaget Dena heran melihat Ardho dan band-nya turun dari panggung. Hiruk pikuk tepuk tangan membuat ruang aula gempar disertai sorakan penggemar Ardho. Dena melihat sekelilingnya, mencoba menyentuh temannya yang agak ke depan. Tapi tidak berhasil, temannya Dena berjalan mengikuti arah Ardho keluar. Beberapa penggemar Ardho berlari terbirit-birit bak dikejar hantu, mengejar Ardho sekadar berfoto atau melihat wajah tampannya bak orang bule.

"Sendiri lagi!" pekik Dena nyaring. Dena melotot, segera ia melihat ke kanan kirinya, memastikan tidak ada orang yang mendengar dirinya berbicara sendiri. Dena menarik napas sangat panjang, ia berdesah—pasrah dengan nasibnya. Tidak ada teman yang setia menemaninya selain kedua sahabatnya. Dena punya banyak teman, tetapi hanya sekadar teman biasa. Bukan teman yang selalu ada dan selalu menolong disaat dirinya susah.

"Hmm... Rindu, Aan...," gumam Dena sembari berjalan lemas. Ia menundukkan kepalanya, berharap kedua sahabatnya itu tidak pergi dari kantin. Ia hendak menyusul. Meminta maaf karena langsung pergi tanpa pamit.

Tubuh Dena menabrak seseorang bertumbuh tinggi berisi. Dena tidak merasakan sakit karena tubuh orang itu lebih berisi dan banyak dagingnya. Dena terjatuh dipelukan pria itu.

"Dena!"

"Aan!"

Dena dan Aan menatap cukup lama, sampai terdengar suara terbatuk-batuk membuyarkan pandangan mereka.

"Rindu, kamu gak papa?" respon Dena cepat, ia spontan mengalihkan pandangannya dan berdiri tegap merangkul Rindu yang terlihat pucat. Dena sangat peka terhadap Rindu, kepekaan itu justru membuat dirinya geer dan percaya diri. Tidak ada yang tahu orang asma. Ia bisa saja kambuh tanpa diminta.

Dena berlalu menggiring Rindu ke ruang kelas tanpa mengatakan sepatah kata pun ke Aan. Karena Dena sangat cemas terhadap Rindu, ia tidak bisa berpikir jernih sekarang. Tidak peduli juga tentang Aan. Saat ini fokusnya hanya Rindu. Ya, Rindu. Kebetulan mereka bertiga sekelas. Jadi sangat mudah memantau keadaan Rindu kapan pun itu.

Dena: Rindu Aan Where stories live. Discover now