[2] Pamor Para Partisipan

1.1K 228 27
                                    

Janna bangun sedikit siang keesokan harinya.

Sekitar 45 menit sebelum kelas pertama di mulai. Waktu yang pas-pas saja bagi perempuan yang berangkat ke kampus hanya dengan kaos, jaket, dan jeans. Butuh sekitar 15 menit menuju kampus menggunakan sepeda, sekiranya dia tidak akan terlambat.

Perempuan itu bertanya-tanya juga, kenapa Ibu lupa membangunkan? Rumah sepi senyap serupa pasar malam di pukul 3 pagi. Jejak aktivitas pagi ibunya-yaitu mengetik di laptop sambil makan roti isi telur-juga tidak ada. Janna menyimpulkan mungkin beliau ada rapat hari ini. Toh, media benar ribut kemarin.

Janna Jatarimurti kehilangan ayah dan kakak perempuannya di umur tujuh tahun. Diambil prostitut Gang Doly. Tiga hari setelah kepergok bertukar pesan dan foto tidak senonoh, keluarga mereka retak dan terbagi dua seperti itu. Janna dengan Ibu, Mbak Annisa dengan Ayah. Pisah rumah dan tinggal di sisi kota yang berbeda.

Tidak apa-apa, Janna masih sering melihat ayahnya di TV. Rupanya masih sering terpampang di berita cepat atau pelaporan acara pemerintahan. Ironis mengetahui bahwa pemberontak Universitas Sabdo Palon harus melawan ayahnya sendiri yang sembunyi di balik meja DPR.

Janna mulai berpikir Ibu mungkin pergi untuk menemui Ayah. Meski gengsi dan benci, tapi mewawancarainya merupakan sebuah kesempatan besar bagi wartawan televisi swasta, bukan?

Diputuskan bagi Janna untuk berhenti berpikir yang aneh-aneh dan segera berangkat ke kampus. Sepeda lipat berwarna jingga itu sudah menyusuri jalan menuju USABLON selama 4 tahun. Bunyi lonceng bundarnya masih nyaring, masih bisa membuat pak polisi tersontak kaget setiap Janna menyapa.

"Siang, pak!"

"Astagfirullah!"

Helm hitam membuat kepalanya seperti batok. Tidak cocok dengan jaket kulit berwarna sama yang sangar. Namun ketika sudah bertemu Janna dengan sahabat konglomeratnya, Kanaya, jaket hitam itu kembali jadi jagoan karena mereka kemana-mana pergi dengan mobil Bugatti putih.

Masalahnya, belum juga dia turun dari sepeda dan menaruh helm, sosok Kanaya datang tanpa mobil, dan tanpa peringatan bahwa dia membawa berita buruk.

"Jeje! Jeje! Jeje!" Dari jauh juga sudah terlihat hebohnya. Beberapa mahasiswa menengok ke arah mereka, meski sejak awal pun Janna memang sudah diberi perhatian.

"Oit?' jawabnya santai sambil membuka helm.

"Lo udah baca berita hari ini belom?"

"Belom... Emang kenapa? Nabi Isa turun dari langit?" Janna tertawa lepas pada leluconnya sendiri. Tawa itu berhenti ketika Naya memegang pundaknya dan melempar tatapan serius. "Enggak, ini lebih parah dari itu."

Kanaya mengunjuk ponsel merek buahnya kepada Janna, dengan halaman yang sudah dia simpan sedari tadi, di balik lockscreen wajah ketua BEM yang dia taksir. Berita itu ada di halaman utama koran digital yang selalu diterbitkan pukul 8 pagi. Jumlah pembacanya sudah menyentuh separuh penduduk tanah air, dengan jumlah interaksi yang terus bertambah.

Di sana terpajang foto Janna, lengkap dengan nama asli yang sudah susah payah dia tidak beberkan ke media.

"Sambutan Kartini Era Kemajuan: Janna Jatarimurti dan Surat Cinta untuk Pemerintah."

Janna tidak masuk kelas hari itu. Selama 20 menit dia habiskan untuk menangis di toilet fakultas hukum, 20 menit berikutnya dia mengompres kepala dengan es batu yang diberi mamang es doger kantin sastra. Kanaya, sebagai anak dengan jatah absen melebihi Janna dikali dua tahun, memutuskan mengorbankan diri untuk selalu ada disampingnya. Selain itu, Kanaya khawatir Janna akan bunuh diri dengan cara lompat ke danau.

Roman Rakyat RepublikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang