11. Cantik itu Relatif

80 18 14
                                    

Jangan lupa ramein kolom komentar.
_______________

“Cantik itu tidak hanya fisik, tapi juga hati.

'ChandraDira'
_______________


Setelah memberikan makanan untuk bapak-bapak tadi, Chandra membeli tiket untuk menaiki kemidi putar. Tentu saja itu bukan untuknya, melainkan untuk Dira.

“Nih, tiketnya. Aku tunggu di sini.”

Dira memberikan tiketnya kepada penjaga. Gadis itu memilih yang berbentuk kuda. Chandra yang melihat tingkah Dira seperti anak kecil itu pun tersenyum.

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Chandra mengeluarkan ponselnya. Cowok itu mengarahkan kameranya pada Dira. Satu jepretan berhasil Chandra dapat. Foto itu akan Chandra cetakan lalu ia pajang di kamarnya. Tak lama, Dira turun dari wahana kemidi itu.

“Mau naik apa lagi?” tanya Chandra.

“Chandra naik tapi, ya?” Bukannya menjawab, Dira malah balik nanya.

“Tergantung,” sahut Chandra singkat.

“Tergantung?” Dira tidak paham dengan ucapan singkat Chandra.

“Kalo naik itu tuh, aku mau.” Chandra menunjuk salah satu wahana. Dira memperhatikan cara bermain wahana itu. Melihatnya saja Dira takut, bagaimana mau naik wahananya.

“Chandra aja deh yang naik. Entar Dira nunggu di bawah aja,” ujar gadis itu.

Chandra terkekeh melihatnya. Tangannya terulur mengacak puncak kepala Dira dengan gemas.
“Enggak usah. Kita jalan-jalan aja. Keliling pasar malam. Nyobain makanannya satu-satu. Gimana?”

“Boleh.” Tentu saja Dira mau. Meskipun badannya kecil, Dira itu jagonya dalam hal makan. Gadis itu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk makan gratis. Sebenarnya hampir tiap hari Dira makan gratis. Karena memang Chandra selalu membayari semua yang Dira beli.

Mereka mulai berkeliling area pasar malam itu. Chandra dan Dira berjalan bersisian dengan tangan Chandra yang berada di bahu gadis itu. Tak perlu memilih dalam hal makanan, Dira akan mendatangi setiap penjual yang ada tempat ini. Padahal sudah jelas bukan berapa banyak penjual yang ada?

Tempat yang pertama Dira datangi adalah penjual kerak telor.

“Mau beli berapa?”

Dira berpikir sejenak. “Satu buat berdua aja gimana?” tanya Dira meminta pendapat.

Chandra mengangguk sebagai jawaban.
“Pak, kerak telor satu, ya.”

Chandra dan Dira duduk di salah satu kursi yang tersedia. Mereka saling bercerita, ah, lebih tepatnya Dira yang bercerita dan Chandra sebagai pendengar. Atensinya terhenti ketika mendengar suara yang cukup familier di telinga Dira.

“Hai.” Dua remaja itu mengalihkan tatapannya kepada orang yang baru saja menyapanya.

“Kak Satria,” ujar Dira antusias. Chandra yang melihatnya menjadi tidak suka.

“Gue kira salah orang tadi. Ternyata beneran lo, Dir.” Dira tersenyum ke arah orang yang bernama Satria itu.

“Kak Satria apa kabar?”

“Baik.”

Tatapan Dira tertuju pada bocah perempuan yang digandeng oleh Satria. “Ini siapa, Kak?”

“Adek gue.” Satria mengajak bocah perempuan itu duduk di samping kursi Dira.

“Lucu, ya. Cantik, kayak Abangnya.” Tanpa sadar, tangan Dira terulur mencubit pipi bocah itu.

“Jadi gue cantik?”

Dira yang menyadari ucapannya pun berkata, “Eh bukan gitu. Kalo Abangnya ganteng.”

Satria terkekeh mendengarnya. Namun, berbeda dengan Chandra. Ia merasa terabaikan sekarang ini.

“Kakak juga cantik,” celetuk bocah perempuan yang diperkirakan berumur tujuh tahun itu.

“Makasih. Kalo boleh tau, nama adek siapa?” ujar Dira mengelus pipi yang sedikit berisi milik bocah perempuan itu.

“Nama aku Della. Kalo Kakak?” tanya bocah itu.

“Dira.” Gadis itu melihat ke arah Chandra yang sedari tadi diam. “Ah, iya. Kenalin, kalo Kakak yang ini namanya Chandra.”

“Halo, Kak Chandra,” sapa bocah itu. Chandra menarik nafasnya lalu menghembuskan pelan. Ia tidak boleh jutek dengan anak kecil.

“Hai, Della.” Meskipun sedikit kaku, setidaknya Chandra tidak terlihat menyeramkan di mata bocah perempuan itu.

Mereka mengobrol hal apa saja yang bisa dibicarakan. Ah, lebih tepatnya Dira yang berceloteh dengan Della saja. Satria yang melihat interaksi keduanya tersenyum senang.

Sedangkan Chandra, cowok itu hanya diam sedari tadi. Sesekali Chandra menyalakan benda pipih itu. Namun, tidak ada yang menarik sama sekali.
Aktivitas mereka terhenti ketika bapak penjual kerak telur itu menyerahkan pesanan Dira.

“Kamu mau?” Dira mengarahkan kerak telurnya pada Della.

“Nggak usah. Gue udah mau pulang. Kasihan ini bocil.” Bukan Della yang menjawab, melainkan Satria yang menjawabnya.

Satria beranjak dari duduknya. Cowok itu menggendong adiknya karena terlihat jelas bahwa bocah itu kelelahan malam ini. Melihat kepergian satria dan adiknya tadi, Chandra melihat Dira yang tengah memakan kerak telur itu terlebih dahulu.

“Dia siapa?” Dira yang sedang makan itu pun menghentikan aktivitasnya.

“Kak Satria,” jawabnya polos.

***

Jadi gimana sama partnya? Ah, author seneng banget bisa double update. Jangan lupa ramein kolom komentar.

Babay

1 November, 20
naa_

3F • (END)Where stories live. Discover now