One Step

217 29 25
                                    

Dia membenciku. Dia membenciku. Dia membenciku.

“Kenapa?”

“Dia pasti benci padaku.”

“Hah?”

Seokjin menghentikan ayunan tangannya yang membawa kacang di depan mulut. Menatap dengan penuh tanda tanya pada Yoongi yang sedari tadi hanya duduk bersandar pada sofa sambil memejamkan mata seperti orang mati.

Semenjak laki-laki itu memasuki teritorial pribadi mereka yang disebut rumah, Seokjin hanya mendapati wajah datar tak tersentuh itu berdiam diri pada sofa ruang tengah tanpa bergerak sedikitpun.

Menghiraukan segala keriuhan sekitar hingga membuat dirinya tergerak untuk menghampiri.

“Si..apa?”

“Jina.”

Kali ini Seokjin benar-benar menghentikan acara mengemilnya. Saling menepuk kedua tangan untuk menghilangkan remah yang menempel sambil berdeham ringan. Secara tiba-tiba saja tenggorokannya menjadi kering.

“Memangnya apa yang kau harapkan? Sambutan kerinduan?”

Seokjin ikut menyamakan posisinya. Menyamakan pula pikirannya serta rasa luka dihatinya. Ya, mereka berdua adalah laki-laki kurang beruntung yang pantas mendapat hukuman semacam ini.

Suara berat Yoongi kembali mengalun setelah beberapa saat terdiam.
“Matanya dengan jelas memberitahu akan seberapa besar kebenciannya padaku, Hyung. Hingga aku.. merasa takut.”

Seokjin melihat lelehan air turun dari mata Yoongi yang tertutup, mengalir melewati cuping telinganya dan berakhir pada punggung sofa. Seokjin juga melihat bibir tipis itu mengatup dengan getaran kecil yang tertahan.

“Apa yang kau takutkan?”

Seokjin menunggu dengan sabar jedaan waktu yang di beri Yoongi untuk menjawab pertanyaannya.

“Jika aku benar-benar akan kehilangannya.”

Seokjin mengalihkan pandangannya pada langit-langit ruangan. Berusaha menimang kira-kira petuah apakah yang mesti ia uraikan pada adik tertuanya ini.

Mereka berdua sama-sama saling mengerti dengan keadaan masing-masing. Saling bisa merasakan kesakitannya, hanya kemungkinan mereka bisa memiliki akhir yang berbeda. Harus. Mereka tidak boleh berakhir sama. Cukup dirinya saja, adik-adiknya jangan.

“Aku mendapatkan ini dari Namjoon. Dia bilang, tak ada hal yang bisa menandingi keadilan dalam kehidupan. Kau merasa senang maka kau juga akan merasakan sedih, kau berhasil maka kau juga akan gagal, kau sehat maka kau juga akan sakit, kau mendapatkan sesuatu maka kau juga akan kehilangan sesuatu. Itu sudah menjadi aturannya. Tapi perlu diketahui bahwa kau bisa mengatur kapan itu semua akan terjadi dengan sebuah usaha yang sekiranya sudah kau lakukan. Terakhir, berpasrahlah pada alam, berpasrahlah pada Tuhan. Karena DIA tau apa yang tidak kita tau. Namjoon bilang seperti itu padaku..

..Kehilangan Jina adalah mimpi buruk bagimu. Lantas, usaha apa yang sudah kau lakukan agar terindar dari mimpi buruk itu sendiri?”

Yoongi membuka matanya, membuat air kembali mengalir dari matanya lewat jalur yang sama. Lalu ia terdiam cukup lama.

Hyung, masih menyesalinya?”

Pertanyaan itu telak membuat Seokjin ikut mencari jawaban pada diri. Kali ini ia tak boleh memberikan jawaban bodoh seperti yang beberapa tahun lalu ia lakukan pada Yoongi. Tidak boleh. Posisinya sekarang berbeda dengan Yoongi, maka laki-laki itu harus mendapatkan yang berbeda pula dari dirinya.

“Masih.”

“Lalu, kenapa hanya diam? Apa usaha Hyung agar lekas terhindar dari penyesalan?”

KANS [Min Yoongi] ✔Where stories live. Discover now