50. Mendengar Suaranya (End)

8.4K 663 76
                                    

Abhi sudah mendengar semuanya dari Arka, dan hal itu tidak lain sungguh mengejutkannya. Senang dan sedih bersatu menjadi rasa yang begitu menyayat dada. Menyesakkan sekali, mendengar kenyataan bahwa selama ini Melodi tak pernah gila. Gadis itu hanya berpura-pura untuk menutupi seluruh luka hati dan mentalnya, dari orang yang pernah dipujanya.

Sejak kecil Melodi begitu mengagumi sosok Niken. Namun, semua hancur ketika hanya tersisa ketakutan saat Melodi melihatnya membunuh Febina. Abhi yakin, Niken adalah orang yang berperan dalam semua penderitaan Melodi. Termasuk, memasukannya ke rumah sakit jiwa.

Abhi menyempatkan diri datang ke Rumah Sakit Jiwa Pradita untuk menjenguk Melodi yang katanya sedang sakit akibat keracunan makanan. Setibanya di sana, ia bisa melihat Melodi tengah duduk bersandar di atas tempat tidurnya. Ia mendengar betapa senangnya Melodi saat tertawa bersama Arka yang duduk di hadapannya.

Melihat senyuman dan tawa Melodi, membuat Abhi tidak sanggup untuk menahan buliran air yang sudah memenuhi pelupuk matanya. Pengelihatannya menjadi buram. Tubuhnya gemetar, tetapi tetap mencoba melangkah.

Melodi yang menyadari kehadiran Abhi, tampak sedikit terkejut jika dilihat dari bagaimana matanya membulat. Namun, ada senyum yang jauh lebih lebar.

Abhi terus melangkah hingga mencapai tubuh Melodi dan memeluknya begitu erat. Perlahan Abhi ikut menurunkan tubuhnya untuk duduk di tempat yang sama. Isakan kecil tidak bisa ia tahan ketika Melodi balas memeluknya tidak kalah erat.

Baru kali ini, Abhi sangat merasa bersalah pada seseorang. Pada gadis yang dulu sering kali mengajaknya bermain. Gadis yang membuatnya tidak bisa meninggalkan seorang Edi Saputra hingga sekarang.

"Kenapa Melodi?" Suara Abhi bergetar. "Kenapa kamu bisa bertahan untuk waktu selama ini?" Rasanya sulit untuk bicara saat semua tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Melodi mendengarkan semua ucapan Abhi. Namun, mendengar isakan keluar dari orang yang selama ini begitu ia andalkan tangannya untuk menopang hidupnya, membuat Melodi merasa sesak. Pertahanan Melodi untuk tidak menangis telah runtuh. Air mata perlahan mengalir melewati pipinya, meski dengan sekuat tenaga ia tahan segala isakannya.

"Om tidak bisa membayangkan semenderita apa kamu selama ini. Kamu tidak seharusnya menerima ini, Melodi. Harusnya kamu menyerah dan mengatakannya pada Om. Kenapa kamu mempertahankan sebuah penderitaan?"

Melodi gagal menyembunyikan isakannya. "Karena cuma ini yang bisa Melodi lakukan buat Papa. Melodi enggak mau Papa celaka karena Melodi yang enggak nurut."

Tangan Melodi meremas jas abu-abu Abhi semakin kuat tatkala ia mengingat masa lalu. Dulu Niken mengacamnya untuk berpura-pura menjadi gila jika tidak mau ayahnya menjadi seperti ibunya.

"Menyerah Melodi," lirih Abhi.

Melodi menggeleng lemah. "Rasanya Melodi setiap hari ingin menyerah, Om, tapi Melodi bahkan enggak tau menyerah untuk apa."

Abhi mengurai pelukan, lantas meraih kedua bahu Melodi dan menatapnya dalam. "Kenapa tidak mengatakannya pada Om? Om Abhi bisa merawat dan menjaga kamu seperti anak Om sendiri andai kamu menyerah."

Lagi-lagi Melodi menggeleng. "Melodi enggak mau jadi beban buat orang-orang yang Melodi sayangi. Melodi cuma bakal jadi parasit di hidup kalian."

"Tidak. Jangan mengatakan hal itu. Kamu sudah seperti anak Om sendiri selama ini." Andai Abhi menyadarinya sejak awal, Melodi tidak akan terkurung di tempat ini lebih lama. Abhi mengusap sisa air mata Melodi dengan lembut. Ia tersenyum hangat. "Melodi mau pulang ke rumah?"

Melodi diam, tidak bersuara, atau bahkan sekadar mengedipkan mata. Larut dalam keterkejutannya.

"Papa minta kamu pulang," ucap Abhi.

Love in PsychiatricalDonde viven las historias. Descúbrelo ahora