[15] KILAT MERAH

716 190 37
                                    

[Yuk vote dulu sebelum membaca.

Buat yang maraton baca, terima kasih masih betah baca.

Buat yang setia baca dari akhir Oktober kemarin, makasih lho udah menemani author karbitan ini maraton nulis].
🧟‍♀️🧟‍♀️🧟‍♀️🧟‍♀️🧟‍♀️🧟‍♀️🧟‍♀️🧟‍♀️

🧟‍♀️🧟‍♀️🧟‍♀️🧟‍♀️🧟‍♀️🧟‍♀️🧟‍♀️🧟‍♀️

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Appa benar-benar meneleponku. Di depan kelas, persis di lorong pendek yang menghubungkan antara kantor guru dan sederet kelas 10, aku menunggu dengan gelisah. Kerumunan siswa melintasiku tidak acuh. Semenjak perkelahian dengan Minji yang pertama, banyak anak-anak yang tidak berani menyapaku.

Euforia drama parodi vampir sudah menguap tanpa bekas. Kali ini, tatapan penuh ejekan dan kasihan mengarah padaku. Aku terganggu, tetapi pilihanku satu-satunya hanyalah bersikap masa bodoh.

Cerita-cerita aneh menjadi kisah yang paling sedap dibahas. Aku benci kisah-kisah dramatis yang ditulis para pengarang. Termasuk pada kisahku, dibenci karena berhubungan dengan orang tampan. Ayolah, apa salahnya jika ini menyangkut kegiatan sekolah? Aku tidak ada—ralat, pernah ada rasa—pada Sunghoon, tetapi hubunganku tidak sedekat itu.

Dan aku tadi menggertak pada Minji.

Di sisi lainnya, Minji dan teman-temannya sudah siaga untuk menangkapku lagi. Aku hanya harus membuktikan Sunghoon yang mengajakku. Aku berjalan selambat-lambatnya menuju halaman sekolah. Gerbang sekolah terbentang lebar. Banyak wali murid datang menjemput anak-anaknya. Mereka semua khawatir pada kasus menggemparkan saat ini, termasuk Appa. Appa sudah menjemput Jiho dan dalam perjalanan menuju ke sekolah.

Bibirku sangat kering dan gatal. Aku menggaruk keras-keras sampai perih. Aku menyeka bekas garukan tadi, berharap bahwa luka itu tidak membekas.

Ponsel bergetar, pesan dari Appa datang lagi.

"Yuri-ya, teman Appa meninggal. Kau pulang naik taksi dulu."

Sudah kuduga. Soal waktu, Appa selalu tepat janji. Namun, itu kalau niat. Appa paling tidak becus dalam hal menjemput anaknya di sekolah. Aku tahu Appa sangat sibuk. Kemudian aku menyimpan ponsel ke saku rok dan menepuk bibirku yang pecah-pecah.

"Kau tidak lupa pada janji kita?" tanya Sunghoon. Lengannya melingkar di pundakku. Dia datang dari arah tidak terduga.

Aku semakin risih. Dia terlalu dekat di sisiku.

Waktu telah membeku. Dadaku berdebar karena Sunghoon. Payah sekali. Masa begitu saja aku goyah?

Sebelum rentetan kalimat kekecewaan menghantam untuk diriku sendiri, aku menarik diri dari Sunghoon. Namun, Sunghoon bertahan dengan posisinya. Dia menarikku lebih dekat dan mendorongku pergi ke halte.

✔ 𝘾𝙝𝙤𝙤𝙨𝙚 𝙤𝙧 𝘾𝙝𝙤𝙨𝙚𝙣 [PARK SUNGHOON ENHYPEN]Where stories live. Discover now