37. Perhatian?

121 23 2
                                    

[Ikan, ikan apa yang lucu? Iii 'kan yang lucu cuman aku. Haha]

Happy reading ....

***

"Pengen banget bilang i love you. Tapi aku takut love-nya kamu bukan buat aku. Hehe." — Karalieva Olivina.

____________________

Ara sudah berada di dalam UKS bersama ketiga sahabatnya. Luka Ara baru saja dibersihkan dan kembali diobati oleh anggota PMR.

Nella meringis melihat luka Ara. Sedangkan Ara hanya biasa saja, seolah tidak merasakan rasa sakit.

"Jangan berurusan sama Keisya lagi, Ra."

Ara, Abel, dan juga Nella menatap Ze yang barusan memperingati Ara. Ze sedari tadi hanya diam. Dan ini baru membuka suara sambil menatap Ara.

"Ara juga enggak mau berurusan sama dia. Tapi dia selalu ganggu Ara," beber Ara.

"Bener-bener ya tuh cewek. Kerjaannya cuman ngerusuh doang. Gak ada guna banget hidupnya," kesal Nella.

"Orang kayak gitu emang harus dibantai. Enggak bisa kalau didiemin. Makin ngelunjak," ujar Abel.

Ara tidak ikut ambil suara. Gadis itu hanya mendengarkan saja tanpa mau ikut menimbrung. Menurutnya penuturan Abel tidak sepenuhnya salah. Wajar jika Abel memiliki ambisi untuk membunuh Keisya, toh Keisya juga sudah keterlaluan.

"Gue pergi dulu," pamit Abel masih dengan suara kesal.

"Abel enggak beneran mau bunuh Keisya, 'kan?" tanya Ara.

Walaupun Ara masih kesal pada Keisya, tapi ia juga tidak bisa membiarkan Abel melakukan hal yang di luar batas pada Keisya.

Ara yakin, Abel tidak mungkin sampai membunuh Keisya. Tapi, bukan tidak mungkin kalau gadis itu memberi satu atau dua bogeman pada Keisya.

"Enggak, kalau gak khilaf," jawab Abel sekenanya.

Abel langsung meninggalkan UKS, menyisakan Ara, Nella, Ze, dan satu anggota PMR. Nella duduk di kursi samping brankar, menatap Ara yang duduk di atas brankar.

"Ra, sakit enggak?" tanya Nella.

"Sakit."

"Kok lo enggak nangis? Enggak teriak juga," heran Nella.

Jujur. Jika yang berada di posisi Ara itu adalah Nella, sudah dipastikan Nella akan berteriak sekencang mungkin. Tidak lupa juga untuk terus menangis sepanjang hari. Meratapi luka itu.

"Harus banget nangis?"

Nella diam beberapa saat. "Kalau cuman luka baret, ya wajar aja sih enggak nangis. Cuman ... kalau lukanya kayak lo, nangis aja belum cukup. Mungkin harus teriak atau marah-marah buat ngelampiasin rasa sakitnya."

Ara mengangguk-angguk. Tatapannya Ara tertuju pada kakinya yang sudah ditutupi oleh plester. Luka Ara memang tidak terlalu besar, hanya dalam saja. Itulah yang membuat darah dengan mudah keluar jika Ara kurang berhati-hati dalam langkahnya.

"Enggak semua orang sama. Mungkin cara Nella emang gitu. Melampiaskan rasa sakit dengan mengeluarkan emosi. Tapi beda sama Ara. Ara lebih suka diam, nikmatin segala rasa sakitnya. Karena percuma juga kalau Ara nangis atau bahkan sampai teriak-teriak. Malah bikin capek diri sendiri."

Kali ini Nella yang mengangguk. "Tapi mendam rasa sakit itu pasti susah 'kan? Waktu tangan gue keiris pisau aja refleks teriak. Padahal lukanya enggak separah lo."

Silently Follow [END]Where stories live. Discover now