LTL || Part 14

517 29 0
                                    

Meratapi dalam diam, mendekam seharian di ruangan dia jadikan sebagai pelampiasan. Raka menopang dagunya dengan telapak tangan kanannya. Berkas berwarna hijau sudah hampir 10 kali dia buka dan dia tutup setelah selesai membaca. Mungkin jika ditanya apa saja isinya, Raka bisa membacakannya secara detail.

Penyesalannya kali ini benar-benar terasa nyata bagi dirinya. Sebelumnya Raka tidak seperti ini, bahkan hanya dengan melirik istrinya saja rasanya sangat tidak mungkin.

Tapi karena kejadian hari kemarin, yang sangat membuat hati Raka justru merasakan sakit.

Apa penyebabnya? Apakah Valenzi? Apa dia merasakan hal sama seperti yang Valenzi rasakan?

"Argh!!"

Raka mengacak rambutnya kasar. Satu detik, dua detik, hingga satu menit. Raka mendongak, melihat ke arah pintu kayu berwarna coklat mengkilap, memandanginya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada desir aneh saat pintu itu tak lekas terbuka.

Apa ini? Biasanya hanya hitungan detik pintu itu sudah terbuka. Raka mengernyit. 'Lo marah?' batinnya.

Raka mengedarkan pandangannya dari pintu kayu. Tatapannya lurus ke depan. Dadanya bergemuruh, darahnya seperti meletup-letup merasa tidak terima.

Raka bangkit setelah melayangkan satu pukulan kepada mejanya. Rahang kokohnya menegas. Raka berjalan mantap keluar ruang kerjanya. Karena sejak kemarin malam setelah makan malam hingga waktu makan siang ini dia sama sekali tidak keluar dari ruangannya.

Raka meletakkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Raka kali ini lebih terlihat rileks saat berjalan. Perlahan dia meniti anak tangga yang berhubungan langsung dengan ruang tamu.

Di pertengahan tangga, Raka menghentikan langkahnya. Mengamati sekitarnya, dia juga melirik dapur, lalu jam dinding, sebelum dia mengernyitkan dahinya dalam.

'Biasanya jam segini dia lagi masak,' batinnya.

Raka mengedikkan bahunya, kembali berjalan menuju living room.

Sudah hampir satu jam dia berdiam diri sambil menonton serial televisi. Meskipun matanya tertuju pada layar televisi, tapi dia selalu mengawasi pergerakan Valenzi. Sayang, kali ini istrinya belum menampakkan dirinya.

Raka menakutkan kedua alisnya. Menegakkan duduknya di atas sofa. Ada banyak pertanyaan di dalam lubuk hatinya. Salah satunya dan yang paling utama adalah 'kemana Valezi?'

Raka memutuskan untuk menghampiri Valenzi ke kamarnya. Meski hanya mengintip di sela-sela pintu kamar.

Matanya yang memicing melihat dari sela-sela pintu kamar yang tak tertutup rapat itu mengernyit setelah merasa tidak melihat siapapun di dalam kamar.

Saat itu tangannya terulur untuk meraih knop pintu. Namun di detik-detik terkahir, dia urungkan.

Raka menarik nafas panjang, dan menghembuskannya perlahan.

"Love herself. Say sorry for her."

Raka mengulang kalimat yang beberapa hari lalu dia dengar.

"I'm so sorry," lirihnya. Memastikan suaranya tidak kaku saat mengucapkan kata maaf.

Raka membuka pintu kayu bercat putih perlahan. Sembari menunduk dan menutup kedua matanya.

"Gue minta maaf," tegasnya.

Matanya masih tertutup sempurna. Bahkan tubuhnya masih ada di ambang pintu kamar. Dia hanya mendorong pintunya agar terbuka, tapi dirinya tidak bergerak sama sekali dari tempatnya.

Love To LifeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora