4- Laut

95 23 26
                                    

Bang Ari terlihat serius dengan roda-roda yang ada di depannya. Sesekali ia beralih pada komputer di sampingnya, lantas kembali memeriksa si ban.

"Kenapa, Bang?" tanyaku yang heran melihat sikapnya.

"Sebentar, Dek. Abang bingung ini bannya tipe berapa. Salah-salah tipe, nanti memperbaikinya tidak maksimal." Bang Ari menjawab sambil masih mengamati layar komputer.

Aku bergumam pelan. Kubiarkan Bang Ari mengurus lebih lanjut sepedaku yang sudah lama tak terpakai itu, sementara pandanganku terpaku ke arah laut di seberang jalan raya bengkel ini.

Pantainya sepi. Wajar, ini masih sangat pagi. Hanya ada beberapa orang yang bermain di sana. Mungkin penduduk dekat sini, atau anak para nelayan. Entahlah.

"Catnya mau sekalian diganti warnanya, Dek?" tanya Bang Ari mengalihkan perhatianku.

Aku menggeleng. "Tidak usah, Bang."

Bang Ari mengacungkan jempolnya.

Aku kembali menatap laut. Aku selalu suka laut. Dulu, ketika Papa bertanya hendak liburan ke mana, aku selalu menjawab laut. Entah itu taman nasional bawah laut, pantai, ke pulau eksotis, atau sejenisnya. Mama bahkan sampai bosan karena setiap tahun kami selalu mengunjungi laut. Ditambah lagi, rumahku hanya berjarak 2 km dari laut terdekat.

Aku tidak tahu mengapa aku bisa sesuka itu pada laut. Mungkin ini bawaan karena aku sering mengikuti papa mengunjungi laut saat menyelam. Entahlah.

"Nah, sudah selesai." Ucapan Bang Ari membuyarkan lamunanku.

Aku menatap takjub pada sepedaku yang sudah dimodifikasi oleh Bang Ari. Sebenarnya, aku memutuskan untuk memperbaiki sepeda ini bukan hanya karena Rafa. Yah, aku juga sadar diri bahwa akhir-akhir ini aku sangat jarang olahraga, ditambah sepedaku itu sudah sangat butut. Maksudku, ayolah, sepeda zaman sekarang sudah dilengkapi beberapa alat canggih. Sementara sepedaku masih 'normal-normal' saja-salah satu alasanku memperbaikinya pada Bang Ari yang bengkelnya 2 km dari rumah. Beliau teman dekat Papa, dan memiliki berbagai fitur canggih untuk kendaraan roda 1, 2, dan 3.

"Terima kasih, Bang," ujarku, lantas memberikan uang sesuai harga yang tercetak di bill.

Saat itulah, ketika aku baru saja hendak pergi dari sana untuk berangkat ke sekolah, sebuah sepeda berwarna abu-abu tua berhenti tepat di depanku.

"Eh, El?" Rafa terlihat sama terkejutnya denganku.

"Ternyata kamu juga suka bersepeda? Waah, maaf, kemarin saat di bis, kukira kamu tidak suka bersepeda."

Aku hanya tersenyum simpul, tidak tahu harus membalas apa. Padahal aku terpikir untuk memperbaiki sepeda ini berkat dia.

"Bang Ari! Tolong pompa ban ya, Bang. Yang di depan sedikit kempes," pintanya sambil mengangkat sepeda itu ke dalam bengkel.

Bang Ari yang tadi termenung menatap kami berdua pun segera mengambil alat pemompa ban.

"Mau bareng ke sekolah?" tanya Rafa padaku.

Aku mengiyakan.

"Kalian saling mengenal?" tanya Bang Ari pada Rafa. Rafa mengangguk.

"Aku duduk bersebelahan dengannya di sekolah."

Bang Ari terlihat manggut-manggut. Ia menatap Rafa dengan pandangan yang-entahlah. Aku tidak tahu sejenis pandangan apa itu. Yang kutahu, ternyata mereka juga saling mengenal.

***

Matahari mulai menampakkan dirinya di langit pagi. Jalan raya lebih ramai karena waktu sudah menunjukkan jam berangkat kerja. Aku mengerem sepedaku, melewati tanggul setinggi 1 cm di aspal.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 09, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Behind The Glimmer Of The SeaWhere stories live. Discover now