43.Sebuah Pesan

131 21 466
                                    


Happy reading
***


“HEH, PELAKOR!”

Langkah kakinya terhenti ketika suara itu terdengar mengusik telinga. Namun, tidak ada pergerakan sedetik saja untuk melihatnya. Sani tetap berdiri tanpa mau repot-repot menolehkan kepala. Dirinya yakin, sebentar lagi orang itu yang akan menghampirinya.

“Nggak perlu noleh,” peringat Sani ketika merasakan gerakan Fai yang ingin menghampiri orang tidak jelas di belakangnya.

“Tapi, itu mulut minta ditonjok sama tangan gue ini, San,” sahut Fai mulai geram. Mumpung masih pagi, tenaganya masih penuh kalau orang itu ingin merasakan tangannya.

“Nggak perlu. Itu kaki datang sendiri ke sini tanpa kita menghampiri,” ujar Sani santai.

“Heh, lo nggak dengar?!”

Sani tetap diam. Benar apa kata dirinya, orang itu pasti akan mendekat. Matanya melirik gadis yang tengah menatap penuh amarah. Entah alasan apa kali ini dia membencinya. Kalau dua kata teriakan pertama tadi, siapa lelaki yang ia rebut? Ah iya, baru ingat sekarang kalau Seana Agina pacar kekasihnya juga.

“Kenapa senyum-senyum, hah?!” Sebuah dorongan dari Agin membuat Sani mundur selangkah. Tiga teman Agin lainnya hanya melihat saja.

“Nggak usah dorong-dorong segala kenapa, sih?!” Fai mendorong balik Agin, karena Sani tidak ada reaksi apa pun akan kelakuannya. Terlalu baik untuk Agin yang sungguh kebangetan, menurutnya.

“Lo juga dorong gue sialan!” maki Agin tidak terima akan perlakuan Fai.

“Fai, nggak usah urusin ini bocah. Ke kelas aja daripada di sini nggak ada gunanya,” cegah Sani ketika melihat Fai akan mendorong Agin kembali. Sera yang di samping Fai, seakan tidak mendukung ucapan Sani. Orang seperti Agin harus diberi pelajaran.

Berbeda dengan Flari yang berdiri di samping Sani, gadis itu sangat menyetujui akan apa yang Sani katakan. Terlalu membuang-buang energi, pikirnya.

“Lo katain gue apa tadi? Bocah? Ngaca dulu! Lo itu pelakor tau, nggak! Melebihi bocah yang nggak punya otak!” ujar Agin emosi. Teman-temannya tidak ada yang memberikan sekadar kata untuk membelanya. Mereka hanya menjadi pengawal tanpa banyak tingkah.

“Pelakor apa, sih? Gue nggak pernah rebut pacar dari siapa-siapa,” sahut Sani sambil memandang Agin menantang.

Agin kembali mendorong Sani Dengan kilatan mata tajam. “Masih nggak mau ngaku? Lo itu cuma orang yang pura-pura dicintai karena bencinya Bara. Masalahnya udah selesai semua sekarang. Jadi, apa kata yang cocok selain pelakor, huh?!”

Sani maju mendekat ke arah Agin kala mendengar itu. Ditatapnya penampilan Agin yang sungguh menjijikkan. Kelas sebelas adalah masa-masa ternakal saat sekolah menengah atas. Itu kalimat yang sering didengarnya, tapi perasaan dirinya tidak seperti gadis di depannya itu. Hm, setiap anak berbeda-beda.

“Lo tau?” Sani menjeda ucapannya sembari menatap wajah Agin, lantas kembali berkata, “Gue udah putusin Bara, tapi dianya yang nggak mau. Dia yang tetap ngaku gue sebagai pacar, karena dia nggak setuju gue putusin. Bara udah terlanjur sayang sama gue. Ya, sebagai percobaan pacar yang baik, gue mau ngasih kesempatan.”

“Jadi, lo jangan bilang gue sebagai pelakor, karena Bara sendiri yang ngejar-ngejar gue,” lanjut Sani dengan percaya dirinya.

“Jangan mengada-ngada lo! Nggak mungkin Bara suka sama lo!” sungut Agin sambil menarik rambut Sani kuat.

Melihat itu, Fai segera menarik tangan Agin. “Nggak usah cari gara-gara!” Dirinya pun balik membalas perlakuan Agin lebih kuat daripada yang dilakukannya tadi pada Sani.

Sekali SajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang