cm

31 0 0
                                    

Hari yang sangat melelahkan. Entah mengapa ada sebutan seperti itu untuk hari-hari tertentu. Hari yang berat, hari yang menyebalkan, hari yang membosankan dan semua sebutan hari-hari dari yang bermakna negatif hingga hari yang baik, hari yang menyenangkan, hari bahagia dan entah hari-hari apa lagi. Padahal, semua sebutan hari itu bergantung dengan perasaan orang yang menyebutnya. Terlalu tega jika menyebutkan satu hari sebagai hari yang buruk dan terlalu berbaik hati menyebutkan hari itu hari yang menyenangkan. Manusia tak akan pernah tahu bukan apa yang akan terjadi 5 menit kedepan? Satu jam kedepan? Berapa inchi Kita akan berpindah ke depan? Seberapa jauh Kita akan melompat sederik kemudian. Manusia memang tempat salah, tempat ceroboh, tempatnya dosa. Namun, dibalik itu semua makhluk yang dapat berproses karena kesalahannya, karena kecerobohannya, karena dosanya adalah manusia. "Terimakasih, Saya akhiri pertemuan hari ini. Jangan lupa tugasnya dikumpulkan 2 hari kedepan lewat email Saya..." Kalian bisa menebak bukan mengapa pendahuluan ceritaku kali ini mengenai persepsi hari baik atau buruk. "Zah makan yuk!" Aku menepuk pundak karibku yang berada sekitar 39.37 inchi di depan ku. Perut yang tidak berdamai sejak pagi tadi membuat otakku memutuskan untuk berkeinginan pergi mengisi perut. "Sholat dulu lah, kan udah dzuhur." Jawab Azzah sambil berdiri. "Laper banget Zah .... Ayo zah, kan harus mendahulukan makan." Bujukku sambil memegangi lengan karibku. "Eeh mendahulukan makan itu, kalau emang makanannya udah di depan Kita, terus mau makan adzan. Nah kan udah terlanjur ngiler tuh. Baru boleh makan dulu, karena takut sholatnya kebayang makanannya." Telingaku mencerna kalimat Azzah sambil bergumam 'ya ya ya'. " Ayook, sholat barang berapa menit loh. Kalo makan dulu lama. Kalo kesedak terus mati gimana hayo belum sholat." Aku mengernyitkan dahi. "Hiih serem banget sih Zah bawa-bawa mati." Setelah perdebatan kecil yang pada akhirnya dimenangkan oleh Azzah.
Seperti kesepakatan kami, setelah dari masjid fakultas kami menuju kantin fakultas tetangga, fakultas kedokteran. Suasana yang berbeda langsung memyambut aku dan Azzah. Tarian-tarian bau masakan menggelitik cuping hidungku dan tentu saja perutku semkin memberontak tak terima hanya diberikan bau sedap. Setelah ber-cap cip cup dengan makanan yang mana, akhirnya kami metuskan untuk memakan menu soto karena kuahnya yang diharapakan dapat meruntuhkan seluruh beban pikiran hari ini. "Eh Chi udah tau belum ada program ini." Di tengah-tengah penantian soto Azzah menunjukkan brosur digital berjudul 'Sekolah kepemimpinan dan public spiking' yang di adakan oleh salah satu ormawa kampus kami. "Ikut ini aja Chi, biar ada pengalaman yuk." Aku terdiam, entah apa yang aku fikirkan. Aku tak paham dengan diriku seperti Einstein yang tak paham dengan Alam semesta yang dapat ia mengerti. Aku tak paham dengan diriku yang tak dapat memahami dirinya sendiri. Percakapan itu menggantung bersama udara ketika ibu penjual Soto menyuguhkan Soto yang beraroma sedap itu pada kami.
Di saat aku memutuskan mengakhiri kegiatanku di kampus hari ini, sepanjang jalan menuju persinggahan sementaraku di kota ini, aku berfikir : Apa yang sebenernya aku cari di sini? Apa aku sudah menikmati keputusan yang sudah ku putuskan ini? Mengapa aku masih menganggap semua ini berat? Belum segenap satu semester di sini, Aku ingin menyerah? Semua tanyaku jatuh bersama dengan peluhku.
***
Seberapa kerasnya kau menolak kewajiban, maka keharusan untuk mengerjakannya semakin membesar. Seberapa besar kau tidak menerima tugas yang ditugaskan untukmu, maka keharusan kau melakukan nya semskin besar. Satu sisiku berkata demikian. Namun, manusia selalu punya dua sisi, dimana sisi ku yang lain memgatakan untuk santai sejenak dan melupakan semua yang membebani. Jika ku fikir lagi, keduanya benar. Aku mengambil beberapa keperluan untuk mengerjakan tugasku dan bersiap pergi ke tempat Azzah. Keduanya akan ku dapatkan, tugas dan suasana yang santai karena keberadaan teman yang bisa mencairkan. Dreet .... Dreet ... Dreer ... Suara getar dan dering ponsel membuat tanganku lebih cepat mengikat rambut. Simpul bibirku terangkat berbarengan dengan aku mengangkat ponselku untuk ku dekatkan dengan telinga. "Hallo .... ?" Aku menyapa orang di sebrang sana. "Hallo, udah sholat?" Tanya sebrang sana seolah mengejekku karena kejadian tadi pagi. "Yee udah lah." Jawabku pendek. Satu dua kata pembuka saling kami balas. "Kenapa udah jarang ngabarin sih?" Tanyaku membuka percakapan baru. " Kenapa emang? Kangen ya? Haha." Tawa yang renyah dari sebrang sana yang sudah lama tak ku dengar. "Iya lah, orang kamu jarang banget ngabarin. Chat aku aja kadang ga kamu bales." Aku menjawab mungkin dengan jujur pertanyaannya. "Iya lah apa? Coba bilang kangen nanti aku kasih tau kenapa jarang ngabarin." Aku membayangkan ekspresi orang yang berada di sebrang sana. "Ga mau!" Jawabku spontan. "Yaudah ga bakal ngasih tau kenapa." Jawabnya lagi.
"Ih yaudah ya ga pangen tahu juga." Aku bersungut-sungut terpancing jebakan dia. Sudah sejak lama aku tak lagi saling berkomunikasi seperti ini. Dia adalah teman baikku, teman dari kecilku. Can Mirza, katanya nama itu dari mama Turki, karena ayahnya suka sekali dengan negara itu. "Yaudah deh, maaf ya selama ini Aku jarang ngabarin kamu. Kamu tau kan sejak ayahku ga ada, aku harus bantuin paman ku nerusin usaha sawitnya . Yaa begitulah selain kuliah, waktuku juga untuk bantuin paman. Jadi ya mungkin akan ada waktu saat weekend. Setelah ini aku berusaha ngabarin kamu deh tiap weekend." Jelas Can di sebrang sana. Aku hanya mengangguk. Benar juga, Can sudah semakin dewasa dan mengerti tentang usaha keluarganya. Aku juga semakin paham Can diharuskan kuliah di Sumatera. Bukannya senang karena Can menghubungiku, fikiranku mengenai diriku yang masih tak bisa apa-apa semakin merasuk. "Hey kok diem sih. Kenapa? Ada yang mau diceritakan?" Tanya Can begitu manis. Katanya, jangan terlalu percaya sama omongan laki-laki. "Banyak lah. Aku tuh mau cerita banyak. Banyak banget tau nggak, sampe aku ga tau mau cerita apa." Aku setengah kesal menjawab Can. "Iyaa deh maaf ya aku ga sering dengerin kamu cerita lagi. Yaudah Ayo cerita, apapun itu malam ini." Aku terdiam cukup lama, begitu juga dengan Can. " Can kamu udah keren ya, udah bisa ngurus usaha keluarga kamu, kuliah juga, kegiatan kampus juga. Aku masih belum bisa apa-apa Can. Cuman masih bisa ngeluh. Aku ga tau sebenernya apa yang aku cari di sini. Ilmu? Ya pasti, maksudku aku belum menemukan sesuatu yang membuatku menikmati hari-hariku di sini. Aku ga tau lah apa yang aku rasain." Aku berbicara tak jelas hanya mengikuti bisikkan otakku. "Haha cari pacar sono, biar idup lu di situ indah." Secara tak langsung tawanya membuat simpul dibibirku lagi. "Hahah apaan sih kok pacar. No ya Aku ga mau pacaran." Jawabku dengan yakin. "Yakin? Palingan beberapa minggu lagi cerita ke aku kalo suka sama orang hahah." Can memang selalu bisa membuatku kembali menarik simpul senyumku. Percakapan yang sederhana, bahkan mungkin itu percakapan biasa aja. Tapi entah kenapa Can selalu bisa mengalihkanku dari bisingnya dunia, dari buram penglihatanku mengenai kedepannya, dari fikir buruk tentang diriku oleh otakku. Malam ini, terimakasih Can. Sudah yang keberapa kalinya kamu membuatku 'baik-baik saja'. Kami melanjutkan bertukar cerita hingga aku lupa dengan tempat Azzah dan tugas yang sudah membuatku mencaci diriku.

Sorry guys kalau banyak salahnya .. Semoga ada hikmah yaa. Ingat yaa kalian hebat !!!
Semangat

-Inchi-

InchiWhere stories live. Discover now