1- Sepucuk Surat di Sore Hari

363 41 19
                                    

"Sebagai seorang muslim, kita harus punya pegangan yang kuat pada agama. Jangan mudah goyah oleh apa pun, termasuk lingkungan sekitar."

●•••●•••●

Selasar masjid itu mulai ramai saat satu per satu jamaah meninggalkan tempat. Kebanyakan para siswi berpakaian putih abu-abu atau biru yang semuanya mengenakan jilbab. Seragam mereka pun tidak seperti murid SMP dan SMA pada umumnya. Bagian atas dan bawah dijahit menjadi satu membentuk gamis. Tawa riang dan percakapan yang bercampur mengiringi kembalinya mereka ke asrama. Kegiatan sekolah hari ini sudah selesai, bersamaan dengan telah dilaksanakannya salat Ashar berjamaah.

"Hafiza!"

Santriwati yang bernama Hafiza dan rekannya Bitna kompak berhenti. Mereka berbalik dan mendapati Nurul, teman sekamarnya, berlari menghampiri dari arah berlawanan. Sore itu Nurul tak mengikuti salat Ashar berjamaah karena sedang 'libur'. Sebagai ganti, ia harus membersihkan kelas bersama santriwati lain yang juga kedatangan tamu bulanan. Kadang mereka kebagian mengumpulkan buku ke kantor jika ada tugas.

"Ada apa sih?" Bitna mengernyit. Sore ini matahari bersinar cukup terik, sedangkan ia masih belum melepas atasan mukenah yang dirangkap dengan jilbab dan seragam sekolah. Peluh mengucur deras dari kening hingga kaki. Rasanya seperti dikerubuti semut. Cekit-cekit!

Hafiza angkat bahu, mengabaikan decakan Bitna yang menarik perhatian beberapa santriwati lain. Namun, Bitna cuek saja sambil tak henti mengipasi wajah.

Nurul sampai di depan mereka tak lama kemudian. Gadis hitam manis itu mengatur napas sejenak sebelum menjawab tatapan penasaran kedua rekannya. "Za, kamu dipanggil Ustazah Dinar tuh, di kantor."

"Ustazah Dinar? Ada apa, ya?" tanya Hafiza dengan kening berkerut. Serta-merta Nurul mengendik. Tentu saja ia tak tahu. Kalau toh tahu, pasti sudah disampaikan tanpa perlu diminta. Ia hanya mendapat pesan itu saat mengumpulkan buku tugas Matematika di kantor.

"Ya udah, gih. Sana temuin!" ujar Bitna setengah mengusir. Jelas sekali ia sudah tak bisa berkompromi dengan rasa gerah. Digamitnya tangan Nurul sambil menariknya agar berbalik.

Nurul yang tak kuasa menolak hanya bisa menoleh pasrah. "Kita balik kamar dulu ya, Za. Assalaamu'alaikum ...."

"Wa'alaaikumsalaam warahmatullaah ...." Hafiza tersenyum tipis sembari memandang punggung keduanya menjauh. Sejujurnya akan lebih menenangkan jika salah satu dari mereka ikut menemani, tetapi ia tidak mau memaksa. Toh, cuma ketemu Ustazah Dinar, batinnya menenangkan.

Hafiza mengayunkan langkah sembari menebak-nebak alasan dirinya dipanggil. Ustazah Dinar adalah musyrifah yang bertanggung jawab terhadap kamar mereka. Tiap minggu, beliau memanggil ketua kamar secara bergilir untuk melakukan pemantauan. Meski disebut demikian, kebanyakan pertemuan itu diisi dengan sharing atau obrolan santai. Kecuali jika ada laporan atau pelanggaran saja, beliau baru bersikap tegas.

Namun, untuk minggu ini Hafiza sudah memberi laporan, tepatnya dua hari lalu. Sepengetahuannya, tidak ada masalah apa pun yang terjadi. Atau jangan-jangan, ia melewatkan sesuatu?

Pertanyaan di kepala Hafiza teralihkan saat ia berapasan dengan dua orang wanita muda tak jauh dari gedung kantor. Mereka adalah musyrifah yang hendak pergi ke gazebo untuk menerima setor hafalan. Hafiza melengkungkan senyum sambil mengucap salam. Ia sendiri ada jadwal membantu menyimak hafalan sore ini.

Siapa Takut Masuk SMAWhere stories live. Discover now