2- Strategi untuk Bertahan (b)

181 26 5
                                    

Hafiza tak pernah merasa bahwa pergantian siang dan malam terjadi dengan cepat, kecuali selama tujuh hari terakhir. Satu minggu waktu yang diberikan untuk bersiap lewat begitu saja. Rasanya baru kemarin Hafiza mendapat panggilan ‘kehormatan’ setelah salat Ashar berjamaah. Tahu-tahu sekarang dirinya sudah duduk di kantor asatizah bersama koper besar dan tasnya, menunggu mobil jemputan datang dari pesantren putra.

Berkali-kali Hafiza menahan agar mulutnya tetap terkatup saat luapan kantuknya mendesak keluar. Semalam ia tidur saat jarum jam hampir menyentuh angka dua belas, gara-gara obrolan ngalor-ngidul bersama teman-temannya. Topik utamanya masih sama: bagaimana kehidupan Hafiza nanti di SMA Bina Mulia.

“Eh, Kak, misal nih ya. Kalo ada cowok yang deketin Kakak di sekolah baru nanti gimana?”

Na’udzu billaahi min dzalik!” Cepat-cepat Hafiza merapal doa perlindungan tersebut. Rona merah menjalari kedua pipi putihnya. “Aku harap bisa hidup tenang-tenang aja di sekolah baru nanti.”

But life is never flat,” Nurul langsung menyahut, mengutip tagline salah satu produk camilan yang sering muncul di iklan televisi. “Kita harus mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa datang, Za.”

Hafiza mengiakan nasihat Nurul, “Benar juga sih.”

“Sebelum itu terjadi, kita harus memikirkan cara untuk mencegahnya, Kak!” usul Felisha berapi-api. Tidak ada yang menyahut, tapi semuanya segera putar otak untuk mencari solusi.

“Gimana kalo kamu pake cadar?” Nurul yang pertama mendapat ide.

“Nggak bisa, Rul. Di sekolah umum dilarang pakai cadar,” terang Hafiza. Nurul langsung ngedumel pelan tentang peraturan nggak masuk akal yang melarang siswi bercadar.

Bitna mengajukan opsi lain, “Kalo pake masker?”

“Bakalan aneh nggak sih?” Hafiza balik bertanya. Lagi-lagi semua terdiam.

“Langsung lari kalo ketemu cowok?”

“Aduh … bisa-bisa lutut Kak Hafiza copot kalo harus lari-lari terus! Jumlah cowok di sekolah umum itu nggak cuma hitungan jari loh, tapi ratusan!”

Mata Hafiza nyaris copot mendengar fakta itu. Rasa kantuk yang semula di pelupuk seketika lenyap. Energi tubuhnya seolah meleleh layaknya keringat yang kini mengucur di kening dan telapaknya.

“Udah, udah. Yang terpenting itu bagaimana kita membentengi diri sendiri. Ada juga kan, yang udah di pesantren tapi masih pacaran sembunyi-sembunyi?” Nurul menutup diskusi itu dengan bijak. Tampaknya, emosinya yang sempat membara sudah kembali normal.

Lagi-lagi Hafiza sependapat. Nurul memang muslimah yang berpikiran luas, pujinya dalam hati. Tentu ia akan menjadi ketua kamar yang lebih baik, menggantikan dirinya saat tak ada nanti.

Tiba-tiba pertanyaan tak terduga terlontar dari mulut Bitna, “Mm … Za, kalo misal nanti yang deketin kamu itu Azzam, gimana?” 

Tiiin!

Suara klakson mobil membuyarkan kilas balik di kepala Hafiza. Sebuah mobil Avanza hitam sudah terparkir di halaman depan kantor. Tak lama kemudian, dua orang di dalamnya turun dari pintu depan.

“Mari, Ukh. Ustaz Farid dan Akh Azzam sudah sampai.” Ustazah Dinar yang lebih dulu berdiri. Beliau akan turut mengantarkannya ke sekolah yang baru, sekaligus menjemput delegasi dari SMA Bina Mulia.

Hafiza berjalan sambil berusaha menyeret koper besarnya keluar. Namun belum sampai di pintu, sebuah suara muncul di belakang punggungnya.

“Biar ana saja, Ukh.” Hafiza hampir melompat. Si pemilik suara itu tidak hanya berbicara padanya, tetapi juga langsung mengulurkan tangan ke pegangan koper yang dalam kondisi sedang ia genggam. Nyaris saja mereka bersentuhan jika gerak refleks Hafiza terlambat beberapa detik saja.

Hafiza menengadahkan wajah. Tampak di sebelahnya Azzam yang sedang menunduk bersiap menggelinding kopernya.

Kalo misal nanti yang deketin kamu itu Azzam, gimana?

“Astagfirullah …,” buru-buru Hafiza mengucapkan istigfar. Ia memalingkan wajah, tak menyadari bahwa Azzam menatapnya heran.

“Sudah semua?” tanya Ustaz Farid saat Azzam memasukkan tas ransel terakhirnya.

“Insyaallah sudah, Ustaz,” balas Hafiza.

Tanpa membuang waktu, mereka bergegas masuk ke mobil. Perjalanan menuju SMA Bina Mulia membutuhkan waktu hampir satu setengah jam. Jarak yang ditempuh cukup jauh, meski masih berada dalam satu kota. Oleh sebab itu, pagi-pagi sekali mereka berangkat.

Hafiza menatap sendu ke luar jendela. Cahaya matahari yang kuning pucat menyinari Bumi sejauh mata memandang. Baru saja melewati gerbang bercat hijau muda itu, Hafiza sudah merasakan rindu. Ia masih bisa merasakan suasana haru selepas salat Subuh berjamaah tadi. Tak hanya berpamitan, Hafiza juga meminta maaf kepada semua penghuni pesantren putri atas kekhilafan, baik yang disengaja ataupun tidak. Felisha menangis tersedu-sedu sampai hidung kecilnya memerah. Bitna berusaha tampak ceria meski matanya berkaca-kaca. Dan Nurul … sudah seminggu ini ia tidak banyak bicara, tetapi yang memeluknya paling lama. Namun, sejatinya begitulah kehidupan. Akan ada perpisahan di setiap perjumpaan. Layaknya semua makhluk yang bernyawa pasti mati, perpisahan merupakan sebuah keniscayaan.

Untuk kesekian kali, Hafiza menguap. Suara murottal surat Ar-Rahman milik Syekh Mishary Ar-rasyid dari radio mobil terdengar lembut di telinga, tak ubahnya senandung pengantar tidur. Hafiza berusaha menyimak namun kantuknya sudah tidak bisa diajak berkompromi. Ia terlelap dalam tidur paling nyenyak selama sepekan terakhir. [ ] 

To be continued >>

To be continued >>

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Siapa Takut Masuk SMAWhere stories live. Discover now