18. Realized

2K 151 10
                                    


Mitha

Aku menelusuri anak tangga, tidak bersabar untuk mencari Sena di atas sana. Mengetahui kalau saja mereka membuatkan sebuah green house di gedung ini, membuatku bersemangat untuk ikut bersama mereka. Apalagi ada Sena. Setelah meminta supir mengantarku ke tempat ini sepulang sekolah, aku menyusul mereka.

Green house itu sangat menarik dan aku langkahkan kedua kaki dengan senang. Masuk melewati pintu yang tepatnya tidak ada sama sekali penghalang.

"Bolehkah aku bergabung?" tanyaku pada mereka disana, sudah berkumpul di green house ini.

Suasana sejuk sangat baik untuk mereka membaca. Reihan berfokus pada bukunya, juga dengan Sena bersama Mauren. Sementara Erlan hanya memainkan lembaran-lembaran buku itu seperti tidak menyenangi kegiatan mereka. Ia tersenyum melihatku datang.

"Tentu saja." Mauren menerimaku dengan senyumnya.

"Kami tidak berniat menambah satu orang lagi disini." Sena seolah mengusirku, tapi dengan cara ketus.

Aku pun menghentikan langkah sebelum duduk bersama mereka.

"Kau bisa duduk disini, Mitha." suruh Erlan, melihat ada satu kursi yang kosong di ujung sana lalu menarikkannya untuk mempersilahkanku duduk.

Aku hendak duduk disana sambil tersenyum berterimakasih pada Erlan.

"Kenapa kau selalu mengikutiku?" tanya Sena tiba-tiba.

"Kau bahkan mengekoriku kemanapun aku pergi. Apa kau tidak muak dengan tingkahmu?" Sena sudah terlihat tidak bisa menahan rasa jengkel itu.

Hanya diam saja lalu bangun dari dudukku,"aku tidak akan datang ke sini lagi."

"Kau bisa disini, Mitha. Aku yang memintamu." cegah Erlan,"aku lupa berterimakasih denganmu karena sudah membantuku dekat dengan Celine. Dia sangat menarik."

"Aku adalah pria yang tahu berterimakasih." tawa Erlan dan kami tidak mengerti apa yang membuat itu lucu baginya.

"Ada sesuatu terjadi di kepalamu, Erlan." cibir Reihan.

"Aku masih berada di pikiran yang sehat, Reihan." sahut Erlan dan menyilangkan kakinya sambil memegang buku.

"Aku membaca buku ini." Dia mengangkat buku itu lalu menunjukkan ke kami semua,"ada satu pesan ku terima. Rasa cinta dan benci itu tipis. Kau bisa mencintai wanita itu karena membencinya, atau kau bisa membenci wanita itu karena mencintainya."

"Lalu apa yang lucu, Erlan?" tanyaku padanya.

"Wajahmu yang lucu, Mitha. Kau begitu manis dan imut tapi ditolak oleh Sena." Erlan tertawa keras dan aku jengkel setengah mati.

"Jangan bawa ke hati. Kau boleh berkencan denganku kalau tidak bersama pria ini." Tawanya lagi.

"Kau benar-benar sakit." cibirku, "jiwa."

"Sena yang sakit jiwa. Satu sekolah hampir seluruhnya menyukaimu tapi dia dengan gamblangnya menyuruhmu pergi."

"Dan tidak tahu berterimakasih denganmu."

Erlan menatapku serius dan membaca seluruh tatapanku, seringkali aku kedapatan membantu Sena dan juga mendapatiku mengecupi pipi Sena saat pria itu sedang demam tinggi.

"Bisakah kau berhenti menganggap ini omong kosong, Erlan?" Sena tersulut emosi dan berganti menatapku risih.

"Pergilah dari sini. Kau akan membuat keributan saja." suruh Sena padaku.

MITHA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang