Chapter 1: Mak Lampir

19.2K 1.1K 14
                                    



Beberapa hari sebelumnya....


"Mak Lampir!"

Di dunia ini, ada banyak sekali tipe manusia. Ada sekitar tujuh milyar orang di dunia ini. Tujuh milyar orang yang seharusnya takut pada sosok di bagian paling depan antrian. Hera Agustine adalah nama yang tertera di akte kelahiran, tetapi orang-orang menganggap sesungguhnya nama itu terdiri dari tiga kata, yakni Hera 'Galak' Agustine. Dengan adanya nama tidak resmi itu, seharusnya orang-orang lebih hormat dalam memperlakukannya, dan selama ini itulah yang terjadi.

Kecuali,

"Mak Lampir, oi! Denger nggak? Gue tahu lo pasti lagi pura-pura tuli."

... satu orang ini.

Panggilan 'Mak Lampir' ini belakangan jadi trademark Jun untuk membuat Hera menoleh di mana saja, termasuk di tengah lobi rumah sakit, bersama kira-kira tiga puluh orang lainnya yang menunggu antrian pendaftaran poliklinik. Hera, yang baru saja menekan layar sentuh untuk mencetak antrian ke salah satu poliklinik di lantai dua, langsung melemparkan tatapan bengis, berharap laki-laki satu ini berhenti bertingkah tengil. Apa-apaan, dengan jas putih berlengan panjang, tidak seharusnya Jun teriak-teriak soal Mak Lampir di tengah rumah sakit.

"Nah, gitu dong, noleh sedikit." Jun berhenti di sebelah Hera, memamerkan cengiran tanpa dosa. "Ngambil nomer antrian buat ke mana, sih? Poli Jiwa? Gue tebak, ya, obat lo habis kan? Makanya lo galak banget beberapa hari ke belakang. Makanya, kontrol yang rajin, jangan suka bolong-bolong kalau minum obat—"

Seandainya tidak sedang di ruang publik—atau seandainya saat ini mereka ada di dalam kartun Spongebob—Hera akan menjewer bibir ceriwis Jun, persis seperti meme andalannya untuk dimasukkan ke grup ketika duo Jun-Kevin sudah terlalu banyak mengoceh hingga ratusan chat di grup #NasiCampurSeblak. Kadang-kadang, yang mana sangat jarang sekali terjadi, timbul keinginan dari lubuk hati yang terdalam untuk menendang keduanya dari grup. Tetapi, Jun selalu punya intuisi canggih, mampu mendeteksi kapan saja Hera mulai jengkel akan grup yang berisik. Tepat ketika Hera mulai membaca chat (kebanyakan tidak penting, banjir stiker receh, atau emotikon), percakapan mereka berhenti begitu saja.

Hera memasukkan nomor antrian ke dalam saku jasnya, kedua tangan sengaja berdiam di dalam saku.

"Lo baru lepas jaga malam, ya? Gue temenin kontrol deh. Sekalian biar gue dengerin instruksi dokternya apa biar lo bisa kurang-kurangin galaknya. Eh, jangan-jangan dokternya lo marahin kalo nyaranin lo belajar sabar?" Sepanjang mereka berjalan melewati area pendaftaran khusus rawat jalan yang padat, Jun terus mengoceh. Beberapa orang melirik mereka berdua, terlihat bingung karena ada dua orang dokter berjalan dengan salah satunya bersuara cukup keras.

"Jun." Hera benar-benar tengah mempertimbangkan bagaimana cara membuat temannya mengecilkan suara. Kalau panggilan berakhiran tanda titik ini tidak berhasil, ia harus memutar otak mencari taktik lain.

"Iya?"

"Gue mau ke poli kandungan."

Kedua mata Jun melebar secara otomatis. "Lo...?" Tanpa perlu diucapkan, Hera langsung paham apa pertanyaan tak terlisan itu. Tebakan Jun pasti antara sesuatu yang benar-benar serius atau error seperti biasa. Pertanyaan itu ia biarkan menggantung. Biar Jun menebak-nebak sendiri apakah diamnya Hera berarti 'iya' atau 'tidak' mengenai sisa pertanyaan di ujung lidah Jun. Kalau tahu Jun akan diam mendengar soal poli kandungan, seharusnya sejak awal ia melambaikan kertas pendaftaran di hadapan batang hidung Jun. Memanfaatkan kesempatan untuk kabur, Hera buru-buru melangkahkan kaki meninggalkan temannya yang masih mematung.

What Would A Doctor Do?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang