Kurang dua minggu lagi libur akan usai, selama liburan Tasha hanya menghabiskan waktunya untuk berkutat dengan dirinya sendiri. Entah itu kegiatan menyenangkan, self-love, bahkan berkreasi dengan dirinya sendiri.
Hal itu membuat Tasha semakin menyadari bahwa mencintai diri sendiri lebih penting daripada mencintai orang lain. Dirinya juga patut untuk dicintai, ternyata sangat menyenangkan jika mulai menerima diri sendiri untuk hadir.
Nyatanya, semenjak bertemu Daniel, Tasha selalu memaki dirinya sendiri, selalu menyalahkan nasibnya sendiri atas semua yang ia alami. Tetapi, setelah ia menyadari bahwa merelakan dan menjalani lebih penting, hidupnya lebih teratur.
Dirinya juga lebih bahagia. Ia akhir-akhir ini juga lebih sering menyendiri, bukan karena menghinari teman-temannya. Namun, ia hanya ingin merasakan apa arti kebahagiaan itu sendiri. Ternyata, itu lebih mengasyikkan. Yah, walau sedikit sepi dan sunyi.
"Gue bangga sama lo," tutur Jia. "Udah sebangga ketika lo dapet juara, haha."
Tasha tersenyum simpul, tak hanya dirinya yang bangga, tetapi juga Jia. Ia mulai menata hatinya kembali untuk berhenti bersikap manja dan memberi perhatian lebih. Ia akan menjadi perempuan seperti pada umumnya yang bersikap biasa saja.
"Sha, gue harap ketika lo jatuh cinta lagi, lo ... nggak bakal sakit hati," ucap Rie dan memeluk sahabatnya. Ia meringkuh tubuh Tasha ke dalam pelukannya. Sahabatnya satu ini sudah memiliki beban hidup dua kali lebih berat daripada dirinya.
"Iya, Rie, doain," ucap Tasha sambil membalas ringkuhan Rie.
Selama akhir liburan ini Tasha menghabiskan waktunya untuk berbahagia tanpa perlu menunggu. Ia lebih senang berpergian sendiri, tetapi ketika temannya mau untuk diajak, ia lebih memilih bersama temannya.
"Kini, kisahku akan berakhir."
Tasha merebahkan tubuhnya di kasurnya. Ia cukup untuk merasakan sakit hati. Ia hanya bisa berdoa supaya jika ia merasakan sakit hati lagi, ia harap tidak lebih sakit dari yang pernah ia rasakan sebelumnya.
Setelah liburan entah berapa lama, akhirnya sekolah dengan semester dan kelas baru dimulai. Kini, Tasha sudah duduk di kelas sebelas dan dengan aura yang baru pula. Ia hanya bisa berharap saja.
"Tasha! Kangen!" teriak teman-teman Tasha ketika ia memasuki pintu kelas.
Memang, selama liburan ini Tasha tidak pernah pergi keluar bersama teman lainnya selain keempat sahabatnya. Ia selama liburan hanya diam di rumah sambil menata hatinya untuk siap mendapatkan nasib terbaru.
Ia hanya tersenyum mendengar teriakan teman-temannya. Tak sedikit pula yang berhamburan memeluknya. Seperti itukah rasa rindu mereka padanya? Ah, inikah rasanya dirindukan oleh seseorang yang Tasha sayang?
Mereka saling bertukar cerita tentang liburan mereka. Sedangkan Tasha, ia hanya menganggapi dengan tepukan tangan kecil atau hanya mengangguk saja. Saat gilirannya bercerita, ia menceritakan liburannya yang berisi memperbaiki hidupnya.
Annie tertawa salut dengan Tasha yang bisa mengubah sebagian dari hidupnya. Ia salut dengan Tasha yang mengubah rasa sakit hati menjadi penyemangat hidup. Ia tak percaya jika Tasha yang ia kira lemah, ternyata bisa melakukan hal yang tak semua orang mampu melakukannya.
"Gue mulai dari memperbaiki aktivitas, terus mulai merelakan yang udah terjadi, mengeluarkan perasaan yang terpendam, gitu-gitu," ucap Tasha sambil menguncir rambutnya.
Auranya benar-benar berbeda. Teman-teman perempuan yang duduk membentuk lingkaran di sekelilingnya kagum padanya. Tasha benar-benar berbeda. Yang mereka lihat sebelumnya adalah Tasha yang cengeng dan gampang baper, tetapi sekarang Tasha menjadi perempuan yang mencintai dirinya sendiri.
Saat mereka masih bercerita, tiba-tiba teriakan dari luar kelas membuat mereka langsung berdiri.
"Bu Kinan!" seru Fadil sambil berlari menenteng tasnya dan diikuti Jia di belakangnya yang juga berlari.
Tasha segera duduk dan juga lainnya. Ia menyambut Bu Kinan dengan senyum sumringah walau ada problem dengan anaknya. Ia duduk di depan bersama Rie, ia sangat jarang duduk di depan sebelum ini.
Entah aura positif dari Tasha yang menular pada Rie atau memang suasana hati Rie yang juga bahagia seperti Tasha. Mereka berdua bagaikan vitamin yang memberikan energi positif pada kelas mereka.
"Selamat pagi semuanya. Bagaimana dengan libur kalian?" tanya Bu Kinan tak kalah semangat.
"Baik, Bu," kor seisi kelas.
Saat anak-anak lain sedikit ramai, Tasha malah fokus pada anak yang berdiri di dekat pintu kelas. Siapakah dia? Apakah dia murid baru yang hendak memasuki kelasnya?
Tak lama kemudian, Bu Kinan memberi kode kepada anak itu untuk memasuki kelas dan memperkenalkan diri. Dengan patuh sosok lelaki itu mengangguk dan mengawali perkenalannya dengan senyuman.
"Kenalkan, saya Alfian Danendra. Bisa kalian panggil Danen saja," ucap anak lelaki itu. "Saya pindahan dari kota sebelah, salam kenal." Ia mengakhiri perkenalannya dengan sedikit bungkukan dan senyuman.
Mata Tasha tak bisa lepas dari sorot mata teduh yang dipancarkan oleh si murid baru—Danen. Ah, apakah ini yang dinamakan cinta pandangan pertama? Tidak, tentu saja tidak! Tasha mengelak akan hal itu. Ia sudah cukup berpengalaman.
Danen berjalan melewati jalan di samping Tasha. Baru maskulin semerbak memenuhi rongga hidung Tasha. Ah, membuat terngiang-ngiang saja. Danen sepertinya membawa aura baru di kelas ini.
"Udah jujur aja," ucap Rie sambil menyenggol lengan Tasha dengan sikunya.
Tasha hanya tersipu malu. "Enggak kok."
Setelah bel istirahat berdentang, Tasha berjalan melewati koridor untuk sampai di ruang tata usaha. Ia hendak menyerahkan kontak motor yang ia temukan tadi saat berjalan keluar kelas bersama Rie.
Di sana, ia bertemu Danen yang sedang berbincang dengan salah satu karyawan TU. Sepertinya, mereka membahas kartu pelajar. Yah, hanya itu yang Tasha sempat dengar.
Saat Tasha hendak keluar ruangan. Ia keluar barengan dengan Danen yang ternyata baru selesai juga. Dengan canggung, Tasha mengajak Danen untuk berjalan bersama menuju kantin.
"Mau ke kantin? Yuk bareng," ajak Tasha dan berusaha tersenyum sebisa mungkin walau hatinya sudah tidak karuan.
Tidak karuan? Mengapa? Apakah dirinya hendak sakit hati kembali? Oh, tidak. Ia harus menghindari perasaan cinta yang datang. Ia hanya ingin Danen menjadi sahabatnya selayaknya Fadil dan Ridho.
"Makan bareng sahabat gue nggak pa-pa, 'kan?" tanya Tasha ketika mereka memasuki area kantin.
"Iya, nggak pa-pa, santai aja," jawabnya. "Eh, boleh anterin gue beli jajanan?"
Tasha tersenyum dan mengangguk. Sebelum itu, ia berpamitan kepada sahabatnya yang sudah duduk dari tadi menunggu dirinya datang. Tentu saja keempat sahabatnya saling bersahutan mencomblangkan Tasha dengan Danen.
Mendengar keempat sahabatnya saling menjodohkannya dengan Danen, Tasha hanya bisa tersenyum simpul. Ia belum bisa menjawab dan mengiyakan apa yang terjadi padanya.
Ini masih hari pertamanya bertemu Danen. Masih ada hari-hari selanjutnya untuk saling berkomunikasi dan bertukar perasaan. Eh, kok?
END
***
Fyuh, akhirnya, Pelangi Malam ending juga semuanyaaa. Kisah yang amat panjang dan memerlukan dua tahun untuk menyelesaikannya, ups. Maafkan Thor yang terlalu lama menyelesaikan cerita ini sampai-sampai 50% dari pembaca memilih untuk meninggalkan cerita ini.
Intinya, Thor bersyukur bisa menyelesaikan naskah ini. Tepat di tanggal 29 November 2020, Pelangi Malam selesai.
Untuk sequelnya, tenang saja. Akan tetap berlanjut, tetapi untuk kapannya belum bisa ditentukan, maaf ya.
Sekali lagi Thor mengucapkan terima kasih yang teramat banyak kepada semua pihak yang sudah memberi semangat, yang sudah membaca, yang sudah mempromosikan, yang sudah menghujat, semuanya terima kasih. Berkat kalian, naskah ini selesai.
See you di sequel Pelangi Malam yaa. Pst, judulnya Mentari Senja. Tunggu saja yaa, love you all❤️🤸🏻♀️
YOU ARE READING
PELANGI MALAM [END]
Teen Fiction[BELUM REVISI] Perjalanan yang berawal dari seseorang yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Sampai ia mampu mengubah segalanya. Hingga aku tahu, aku hanyalah 'pelangi malam'. Sesosok manusia yang selalu diharapkan, namun nyatanya hampa. Kemudia...