1-2 Boy or Girl?

29 2 3
                                    


1-2 Boy or Girl?

Okinawa, tahun 2000


"Coba kamu terlahir jadi anak laki-laki," adalah kalimat favorit ayah Makoto. Seolah sebelum Makoto dilahirkan ayahnya sedang mabuk karena kebanyakan minum awamori dan karena itu salah mencoret kolom "perempuan" alih-alih "laki-laki" di formulir pemesanan anak sebelum mengirimkannya via pos.


Dan ketika Makoto terlahir pada tanggal 29 Agustus 1988, sudah terlambat untuk memprotes. 'Maaf, anak yang sudah dipesan, sudah tidak bisa dikembalikan', mungkin begitu isi dari kertas 'nota pembelian' Makoto andai benda itu benar-benar ikut keluar dari rahim ibunya. Tanggal 29 Agustus adalah hari lahir yang sama dengan sang King of Pop, Michael Jackson. Penyanyi favorit ayahnya. Ayahnya memuja Michael seperti dewa. Setiap kali ibu Makoto ngambek, ayahnya akan menyanyikan lagu The Way You Make Me Feel dengan suara cemprengnya. Setiap Makoto terpuruk karena menjalani hari yang buruk, ayahnya akan mengatakan, "Semangat! Kamu itu anak yang tanggal lahirnya sama dengan King of Pop! Maikeru (Michael), Maikeru (Michael), Makeru nai!"

Ayah Makoto memplesetkan ejaan nama Michael dalam logat Jepang yang terkesan cadel menjadi ungkapan "Makeru nai" yang berarti tidak akan kalah atau "Beat It", merujuk pada salah satu lagu hit sang King of Pop. Setelah itu ayah akan menutup sesi motivasinya dengan lengkingan legendaris ala Michael: "IHI!"


Nantinya di sepanjang masa kanak-kanaknya, Makoto akan sering menggunakan fakta itu setiap memperkenalkan diri agar lebih mudah diingat. "Hai, namaku Harukaze Makoto. Tanggal lahirku sama kayak tanggal lahirnya Michael Jackson, loh." Meskipun setiap mengatakan itu, dalam hati Makoto akan menambahkan, "Tapi sayangnya aku bukan Michael Jackson, dan juga bukan laki-laki!"

Empat anak laki-laki tampaknya kurang bagi ayah Makoto. Setiap kali ia frustrasi dengan apa pun yang ia lakukan, sedang tidak ada putra-putranya yang bisa ia suruh-suruh, dan kebetulan Makoto sedang ada di dekatnya, ia akan menatap putrinya dengan tatapan putus asa dan berkata, "Coba kamu laki-laki."

"Apa sih, Ayah?! Nyebelin banget! Apa sih yang bisa dilakukan anak laki-laki tapi aku nggak bisa?!" protes Makoto kesal.

Jika ayahnya saat itu sedang mengecat pagar, maka ia akan mengangkat kuasnya di depan muka Makoto dan berkata, "Memangnya kamu bisa ngecat pagar?"

"Bisa, dong!" Makoto lalu menyambar kuas dari tangan ayahnya dan mengecat pagar berjam-jam hingga sore menjelang.

Jika ayahnya saat itu sedang memotongi rumput di halaman, ia juga akan mengeluh dan memegangi pinggangnya dengan dramatis, lalu melirik Makoto yang sedang bengong mengawasinya. Dan dialog yang nyaris sama pun akan berulang.

"Coba kamu laki-laki. Yuuki pasti bisa menyelesaikan ini semua dalam dua jam."

"Aku bisa selesai dalam satu jam!" sambar Makoto secepat kilat.

"Masak, sih?"

"Bisa, dong!"

Dengan semangat Makoto menyambar mesin pemotong rumput ayah dan mendorongnya bolak-balik di pekarangan rumah dengan semangat.

Yuuki, kakak keempatnya yang rupanya dari tadi bersembunyi di atas pohon sambil menjilati es krim beni imo (ubi ungu) dan mengawasi adegan itu, langsung berseru setelah ayahnya pergi, "Makoto, kamu ini beneran bodoh, ya?"

***

Namun, ayah Makoto benar-benar gemar mengucapkan kalimat itu sesukanya saja. Bahkan untuk alasan yang konyol.

"Coba kamu terlahir jadi anak laki-laki, kita bisa bikin tim voli terkuat di Okinawa."

Bagi ayah, kalimat itu jelas guyonan tanpa makna yang sering diucapkan sekadar untuk menggoda putri bungsunya. Tapi bagi Makoto yang masih kecil, kalimat itu bakal terus membekas. Nantinya kalimat-kalimat semacam itu akan menghantuinya hingga nyaris seumur hidup.

Memangnya dia tidak bisa main voli hanya karena dia perempuan? Di sekolah, pada jam pelajaran olahraga yang kebetulan mengharuskan anak-anak di kelasnya untuk bermain voli, Makoto pun mengganas dengan spike-spikenya yang seperti badai.

"Makoto bodoh! Ini bukan permainan dodge ball!" maki Kenji,  temannya sambil memegangi pipinya yang memerah kena sikat bola.

Tapi Makoto tak peduli. Yang penting ia sudah membuktikan bahwa dirinya jago bermain voli meski dia perempuan. Sayang sekali pelajaran olahraga itu tidak diabadikan dalam rekaman video atau foto.  Ia jadi tak bisa pamer di depan ayahnya.

Makoto adalah satu-satunya anak perempuan di keluarga Harukaze. Ibunya jelas perempuan juga, tapi dia kan bukan anak-anak lagi. Keempat kakak laki-laki tulen sejak lahir. Kini kamu tahu bagaimana candaan "tim bola voli" itu berasal. Keuntungan terlahir menjadi laki-laki tulen seperti keempat kakaknya adalah, mereka tidak perlu menghadapi kalimat-kalimat aneh seperti, "Coba kamu laki-laki," atau "Dasar perempuan!"

Sebenarnya ibunya sendiri pun sering mengeluh, "Dasar laki-laki!" tiap ayah atau keempat anak lelakinya berulah. Tapi entah kenapa, di telinga Makoto rasanya seruan, "Dasar perempuan!" itu jauh lebih menyakitkan daripada bentakan "Dasar laki-laki!"

Makoto kecil tak tahu mengapa ia bisa berpikir seperti itu. Semua terjadi begitu spontan. Anak perempuan yang terbiasa dengan pola, "Ya pokoknya seperti itu!" dari ayah dan para kakak laki-lakinya, memang tadinya tak terbiasa mengurai benang-benang kusut di pikirannya.

Ya pokoknya seperti itu. Makoto terbiasa berpikir bahwa jadi laki-laki itu sepertinya jauh lebih menguntungkan. Menjadi anak laki-laki berarti tak akan ditegur kalau kamu menguap lebar-lebar, atau duduk di meja sambil mengangkat satu kaki. Menjadi anak laki-laki berarti bisa dengan bebas bermain di bawah terik matahari atau di bawah guyuran hujan hingga baju penuh lumpur tanpa mendapat komentar, "Ya ampuuun, kamu kan anak perempuan!"

Menjadi anak laki-laki berarti tidak perlu dimarahi hanya jika dirimu melambat-lambatkan langkah menuju ruang makan karena sedang tidak berselera membantu ibumu menyiapkan peralatan makan di meja makan.

Ibu Makoto sering memarahinya habis-habisan jika dirinya ketahuan sedang berkelahi sampai saling piting bahkan bergulat bersama para anak laki-laki di sekitar rumahnya.

"Yang benar saja! Kamu itu perempuan!" teriak ibu sambil menggoncang-goncangkan bahu Makoto yang cuma bisa meringis malu karena adegan itu terjadi di depan teman-temannya. Besoknya anak-anak itu pasti langsung mengolok-oloknya dengan panggilan "tuan putri" hingga berhari-hari kemudian.

Makoto tadinya tidak pernah suka dengan panggilan "tuan putri", dan anak-anak itu jelas tidak sedang memujinya dengan memanggilnya sebagai "putri". Bagi Makoto, sosok "putri" itu sosok manja dan lembek. Ia tak mengerti mengapa anak-anak gadis di kelasnya suka bersaing untuk memperebutkan peran putri di setiap pementasan sekolah.

Makoto kebingungan, kenapa anak-anak laki-laki itu tidak pernah dimarahi jika mereka saling piting dan bergulat. Kenapa cuma dirinya?

Lebih membingungkan lagi karena ayahnya sendiri suka menghardiknya dengan kata-kata, "Jangan cengeng! Jadilah kuat seperti kakak laki-lakimu! Kalau ada yang menganggumu, hajar saja!"

Benar-benar membingungkan. Mana yang harus ia ikuti? Kata-kata ibu atau ayahnya? Sebaiknya ia terus bertingkah seperti anak laki-laki agar dipuji kuat oleh ayahnya, atau menahan diri agar tidak diteriaki, "Kamu kan perempuan!" oleh ibunya?

Kebingungan itu berefek besar hingga Makoto dewasa nanti.

Harukaze no Sekai (The World of Harukaze) - First Trial - RAWS CommunityWhere stories live. Discover now